Sangat menggelikan reaksi anggota Dewan Perwakilan Rakyat terhadap laporan Indonesia Corruption Watch (ICW). Bukannya berintrospeksi, mereka justru sewot setelah ICW merilis 36 politikus yang diragukan komitmennya dalam upaya pemberantasan korupsi. Mereka bahkan menuduh ICW telah memfitnah dan mencemarkan nama baik mereka.
Rilis yang dikeluarkan lembaga pegiat antikorupsi itu sesungguhnya langkah bagus buat memperbaiki mutu demokrasi. ICW mengeluarkan daftar nama anggota Dewan yang selama ini tak mendukung pemberantasan korupsi. Dari ke-36 nama tersebut, politikus Partai Golkar menduduki peringkat pertama: 10 orang. Berikutnya adalah Partai Demokrat (9 orang) dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (5 orang).
Sudah bukan rahasia lagi, banyak anggota DPR yang disebut terlibat kasus korupsi, bahkan masuk penjara karena melakukan kejahatan ini. Mereka-lah yang dimasukkan ke daftar ICW. Dengan cara ini, rakyat bisa mengetahui rekam jejak politikus Senayan sehingga tidak salah pilih. Apalagi partai politik selama ini seolah membiarkan, bahkan merestui, kader mereka menggangsir uang negara.
Para politikus seharusnya tidak panik dan menyikapi hal itu secara berlebihan. Jika memang tak terlibat korupsi, mereka tinggal membeberkan rekam jejak dan asal-usul hartanya. Apalagi bila mereka bisa menunjukkan catatan prestasi dalam memerangi korupsi. Dengan cara ini, mereka bisa menjawab semua penilaian dengan cara yang lebih elegan.
Secara gamblang, ICW sebenarnya telah menjelaskan lima indikator penilaian sebelum mengeluarkan daftar nama itu. Mereka adalah yang pernah disebut dalam keterangan saksi atau dakwaan jaksa sebagai turut menerima sejumlah uang dalam sebuah kasus korupsi. Kedua, mereka bekas terpidana kasus korupsi. Ketiga, pernah dijatuhi sanksi atau terbukti melanggar etika dalam pemeriksaan oleh Badan Kehormatan DPR. Berikutnya, pernah mengeluarkan pernyataan di media yang tak mendukung upaya pemberantasan korupsi. Satu lagi, nama yang disebut itu pernah mendukung upaya revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Dalam indikator terakhir, bahkan tak bisa dimungkiri telah terjadi upaya pelemahan kewenangan KPK secara "masif". Kita menyaksikan saat itu politikus di lintas partai bersekongkol mengamputasi kewenangan lembaga antikorupsi tersebut, membintangi dana pembangunan gedung KPK, hingga mengurangi anggaran KPK. Jika ICW mau lebih mendata siapa saja orang-orang partai yang bermain di balik pelemahan itu, sesungguhnya akan ada lebih banyak orang yang masuk daftar ICW.
Keberanian aktivis ICW patut dipuji. Lembaga-lembaga lain selayaknya meniru langkah mereka. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, misalnya, bisa mengumumkan siapa saja wakil rakyat yang pro-pembalakan liar dan tak bersikap menghadapi degradasi hutan. Komnas Perempuan bisa pula menandai para politikus yang mendukung isu-isu perempuan. Jika ada tradisi memberi penilaian terhadap para legislator, niscaya di setiap pemilu kita akan menemukan wakil rakyat yang semakin baik, terseleksi, dan bermutu.