Waktu dua tahun rupanya cukup untuk membuat penegak hukum melupakan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin. Padahal, ketika buron kakap ini ditangkap di Cartagena, Kolombia, pada Agustus 2011, para penegak hukum berjanji segera menuntaskan penyidikan semua kasus korupsi Nazaruddin dan membongkar keterlibatan kaki tangannya. Dua tahun telah lewat, dan janji tinggal janji.
Sampai sekarang, Nazaruddin hanya divonis 7 tahun penjara untuk kasus korupsi pembangunan Wisma Atlet SEA Games di Palembang, Sumatera Selatan. Puluhan kasus lain yang melibatkannya masih teronggok di Komisi Pemberantasan Korupsi, Kepolisian, dan Kejaksaan Agung. KPK masih menyidik satu kasus, yakni pencucian uang Nazaruddin dalam pembelian saham Garuda Indonesia. Kejaksaan Agung menangani 12 kasus korupsi Nazaruddin di sejumlah kementerian. Badan Reserse Kriminal Kepolisian mengaku sedang menelusuri 14 kasus yang berkaitan dengan Nazar.
Ada alasan mengapa KPK hanya kebagian dua kasus Nazaruddin. Rupanya, Kejaksaan Agung dan Kepolisian lebih dulu menerbitkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) untuk kasus-kasus korupsi Nazaruddin. Begitu penyidikan mereka dimulai, KPK tak punya pilihan selain memberi jalan.
Masalahnya, begitu SPDP sudah terbit, semua kasus Nazaruddin yang dikerjakan polisi dan jaksa nyaris tak terdengar lagi. Meski mereka mengaku terus bekerja dengan menelusuri bukti awal yang diperoleh dan sudah menetapkan sejumlah tersangka, mengapa polisi dan jaksa tak kunjung melimpahkan kasus ini ke pengadilan? Wajar jika publik curiga ada udang di balik batu.
Penuntasan kasus korupsi Nazaruddin amat penting bagi masa depan pemberantasan korupsi di negeri ini. Modus operandi Nazaruddin dalam menggangsir anggaran negara amat canggih, dan menggurita. Dia membuat puluhan perusahaan boneka untuk mengikuti tender pemerintah. Nazaruddin juga menggalang rekan-rekannya sesama anggota Badan Anggaran di Dewan Perwakilan Rakyat untuk mengatur anggaran proyek-proyek negara bersama pejabat pemerintah.
Sebelum Nazar dibui, kelompok usahanya, Grup Permai, mengendalikan 37 perusahaan dengan laba bersih pada 2010 mencapai Rp 1,4 triliun. Ketika pertama kali mengendus kasus ini, KPK mengklaim total nilai proyek yang dikorupsi Nazaruddin mencapai Rp 6 triliun. Belakangan, muncul kabar bahwa Nazaruddin kini membangun kembali kerajaan bisnisnya. Yang mengkhawatirkan, semua itu dilakukannya dari balik terali besi.
Jika semua aksi perampokan uang negara ini dibiarkan melenggang tanpa hukuman, para pencoleng macam Nazaruddin akan terus berpesta. Modus korupsi Nazaruddin akan ditiru dan menyebar ke mana-mana. Efek jera penegakan hukum tak tercapai, dan bisa dipastikan: korupsi kian merajalela.
Karena itulah, KPK tak punya pilihan. Lembaga pemberantas korupsi ini harus meningkatkan supervisi atas penanganan semua kasus Nazaruddin di Kejaksaan Agung dan Kepolisian. Jika tercium indikasi kongkalikong sedikit saja, KPK harus bertindak tegas dengan mengambil alih penyidikan semua kasus itu. Jangan lupa: sejak awal, KPK memang berdiri karena publik tak bisa mengandalkan kinerja jaksa dan polisi.