Dilihat dari sudut mana pun, kekhawatiran tentang penyalahgunaan dana tanggung jawab sosial perusahan (corporate social responsibility atau CSR) dalam berbagai proyek pemerintah DKI Jakarta sangat masuk akal. Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo tak perlu over-reaktif menanggapi kritik dari berbagai lembaga nirlaba belakangan ini. Membuat laporan yang transparan dan akuntabel justru adalah langkah terbaik.
Kekhawatiran penyimpangan dana CSR ini mengemuka setelah Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) mengkritik pemerintah Jakarta. Orang yang punya akal sehat akan maklum dengan kritik itu. Sebab, nilai sumbangan yang berasal dari 2,5 persen keuntungan perusahaan itu sangat besar. Menurut Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apkindo) DKI Jakarta, dana sosial perusahaan itu mencapai Rp 50-100 miliar per tahun.
Dana miliaran rupiah itu masuk ke berbagai dinas di DKI Jakarta dan menjelma menjadi berbagai program pemerintah. Dana itu dipakai untuk berbagai program, seperti biaya untuk penataan kampung deret di Tanah Tinggi, Jakarta Pusat; perbaikan tanggul di Latuharhari yang jebol karena banjir; fasilitas untuk rumah susun sewa Marunda berupa televisi, tempat tidur, dan kulkas; serta pembiayaan alat berat pengerukan di Waduk Pluit.
Yang sangat disesalkan, Pemerintah Jakarta belum memiliki mekanisme pertanggungjawabannya. Inilah pokok masalahnya. Di negeri ini, hampir setiap proyek bermasalah. Terjadi korupsi dan kongkalikong antara pengusaha dan pejabat pemerintah. Apalagi dasar hukum CSR, yaitu Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, tidak mengatur hubungan antara pemerintah dan perusahaan dalam penerapan penggunaan CSR.
Masalah itulah yang harus dijawab Joko Widodo dan wakilnya, Basuki Tjahaja Purnama. Marah kepada para pengkritik jelas percuma. Hal itu tak menyelesaikan masalah. Pemerintah DKI Jakarta harus segera membuat sistem pertanggungjawaban yang transparan atas semua dana CSR. Jika perlu, mengajak Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mengawasinya. Mekanisme ini merupakan bagian dari praktek good governance. Tanpa transparansi, siapa yang bisa menjamin dana sosial perusahaan itu tak diselewengkan oleh pegawai DKI?
Kritik lain yang harus dijawab Jokowi dan Ahok adalah memastikan kebijakan mereka tak "terbeli" oleh sumbangan perusahaan. Soalnya, perusahaan yang menyumbangkan dananya pasti punya kepentingan tertentu, dari ingin mendongkrak citra perusahaan sampai ingin mempengaruhi kebijakan pemerintah.
Niat perusahaan itulah yang harus diwaspadai dan dipilih-pilah. Sumbangan yang punya "udang di balik batu" yang buruk harus dicoret. Jangan sampai sumbangan ini membuat kebijakan DKI tergadai. Jika hal itu terjadi, tingkat kepercayaan publik terhadap Jokowi-Ahok yang tinggi-terbukti saat pemilihan gubernur tahun lalu-akan runtuh. Maka, satu-satunya pilihan bagi Jokowi-Ahok adalah membuktikan bahwa semua kebijakan mereka bersifat netral, tak terbeli, dan murni untuk kepentingan publik. Mereka juga harus segera membakukan sistem pertanggungjawaban dana sosial yang jelas.