Rencana membuat aturan untuk mengawasi lembaga survei politik mesti mulai dipertimbangkan dengan serius. Amat menyedihkan melihat persepsi publik disetir lembaga-lembaga survei abal-abal. Mereka membuat survei asal-asalan. Hasilnya pun disesuaikan dengan pesan sponsor yang membayar. Manipulasi opini publik seperti ini harus segera dihentikan. Komisi Pemilihan Umum seharusnya tak boleh hanya diam melihat lembaga survei berlomba mempengaruhi opini publik.
Survei politik memang semakin menjamur belakangan ini. Sejak Pemilu 1998, nyaris tidak ada masa-masa pemilihan yang tak diwarnai survei politik. Survei itu kini juga menjadi menu wajib dalam setiap pemilihan kepala daerah. Lembaga survei berlomba-lomba menawarkan jasa mereka kepada para kandidat kepala daerah.
Survei politik sebenarnya sah saja dibuat bila dilakukan dengan metode statistik yang bisa dipertanggungjawabkan dan untuk kepentingan internal partai atau kandidat. Masalahnya, survei politik kerap dilakukan secara sembarangan. Pengambilan sampel sering ngawur. Hasilnya juga disetir sesuai dengan pesanan yang dibayar. Inilah yang tak bisa ditoleransi. Mereka sengaja ingin menyesatkan publik.
Cara-cara licik itulah yang kini digunakan banyak politikus untuk membeli popularitas. Mereka menyewa lembaga survei bertarif miliaran rupiah untuk mengatrol elektabilitasnya. "Ada uang, Abang menjadi populer", begitulah moto lembaga survei abal-abal.
Gejala seperti itulah yang kini kembali marak mendekati tahun Pemilihan Umum 2014 . Contohnya, sebuah lembaga survei baru, Focus Survey Indonesia (FSI), menyatakan tokoh dengan elektabilitas tertinggi adalah Ketua Dewan Pembina Gerindra Prabowo Subianto dengan 27,4 persen. Tokoh lain, seperti Joko Widodo, mendapat angka di bawah 15 persen.
Hasil survei itu menimbulkan pertanyaan lantaran bertolak belakang dengan hasil-hasil survei lainnya. Enam lembaga survei lainnya-seperti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Lembaga Survei Indonesia, dan Indobarometer-justru menempatkan Joko Widodo sebagai kandidat terpopuler. Kecurigaan terhadap survei FSI tersebut makin bertambah kala mereka tak bisa membuktikan validitas surveinya. Pertanyaan dasar, seperti bagaimana metode pengambilan sampel, pun tak bisa mereka jawab dengan memuaskan.
Agar tak bertambah runyam, KPU seharusnya segera mengeluarkan aturan soal survei politik. Harus ada aturan agar setiap lembaga survei wajib mempublikasikan metode survei, asal dana, dan bersedia memvalidasi data jika ada yang ragu akan kesimpulan yang mereka buat. Dulu, sebenarnya aturan soal lembaga survei ini hendak masuk ke paket Undang-Undang Politik. Karena tak ada titik temu, aturan itu batal masuk undang-undang.
Lembaga-lembaga survei yang kredibel semestinya juga tak mau namanya dicemari hasil survei abal-abal. Mereka seharusnya juga membentuk asosiasi atau semacam dewan pengawas yang mengawasi kode etik. Jika dalam industri pers ada asosiasi wartawan yang bertanggung jawab atas kompetensi anggotanya dan dalam kedokteran ada Ikatan Dokter Indonesia, lembaga survei selayaknya punya hal yang sama. Bila ada lembaga survei yang nakal, organisasi inilah yang bertugas menyemprit dan menjatuhkan sanksi.