Pemerintah tampaknya menganggap enteng krisis keuangan yang terjadi saat ini. Meski nilai rupiah menembus hingga 11 ribu per dolar dan indeks harga saham gabungan bursa Indonesia terpuruk paling dalam sepanjang 2013, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tak mengeluarkan pidato atau sikap khusus. Sikap diam Presiden ini jelas bukan merupakan "diam emas", melainkan malah sangat memprihatinkan.
Sikap menganggap remeh krisis itu terlihat dari pernyataan Menteri Keuangan Chatib Basri yang dengan enteng mengatakan, "Ekonomi Indonesia belum masuk masa krisis seperti era 1998 atau 2008 dulu." Dia juga melahirkan Empat Paket Kebijakan untuk menghadapi krisis. Kebijakan itu cuma bak parasetamol, meredakan rasa sakit tapi tak membunuh kuman penyebabnya. Pemberian fasilitas khusus untuk kawasan berikat, penghapusan pajak barang mewah untuk produk tertentu, serta penundaan pembayaran pajak tidak akan membuat perubahan yang fundamental.
Krisis yang terjadi saat ini bukanlah sekadar efek sementara dari faktor eksternal: penghentian stimulus fiskal dari bank sentral Amerika Serikat ke pasar. Melainkan karena ada "infeksi kronis" dalam perekonomian Indonesia, yakni ketergantungan terhadap produk impor. Impor membuat defisit neraca perdagangan Indonesia kian menganga. Akibatnya, saat ada badai kecil pun, ekonomi Indonesia terkapar.
Salah satu biang kerok defisit dalam neraca perdagangan Indonesia adalah nilai impor sektor minyak dan gas (migas) yang makin membengkak. Pada semester pertama 2013, nilai impor migas mencapai US$ 22.105 juta, sementara ekspor migas sebesar US$ 16.284 juta.
Keadaan itu diperparah oleh banjir produk impor hampir di semua denyut kehidupan, mulai dari buah, mainan, tekstil, sampai ponsel dan komputer. Di Pasar Tanah Abang kini banyak dijumpai baju batik made in Cina. Menteri Perdagangan Gita Wirjawan juga pening melihat angka impor ponsel, tablet, dan komputer yang saban tahun naik 20 persen. Bahkan sarung ponsel impor--yang tak perlu teknologi canggih untuk membuatnya--juga merajai pasar dalam negeri. Kondisi ini membuat devisa yang disumbangkan oleh ekspor sektor-sektor non-migas menjadi kurang bermakna. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan semester pertama 2013 tekor US$ 3,31 miliar.
Sikap Presiden yang tak tegas dalam masa kelabu ini patut dipertanyakan. Untuk melawan demam impor, Presiden seharusnya mengajak masyarakat menekan konsumsi bahan bakar minyak. Produksi minyak mentah Indonesia sekitar 840 ribu barel per hari, padahal konsumsi BBM nasional mencapai 1,4 juta barel per hari. Akibatnya, sisanya harus ditutup dari impor. Pengurangan konsumsi BBM akan berdampak nyata dalam neraca perdagangan.
Upaya penghematan ini, jika dilakukan sebagai sebuah gerakan nasional, akan lebih memberi dampak jangka pendek ketimbang Empat Paket Kebijakan Ekonomi yang diluncurkan pemerintah itu. Paket kebijakan moneter, fiskal, pasar modal, dan industri itu, seperti mendorong ekspor atau insentif fiskal, baru bisa terlihat dampaknya dalam jangka menengah dan jangka panjang.
Langkah yang lebih penting dilakukan adalah menguatkan industri dalam negeri dengan berbagai insentif. Langkah inilah yang gagal dilakukan pemerintah Yudhoyono selama lima tahun terakhir. Padahal, tanpa hal ini, ekonomi Indonesia akan terus disandera produk impor.