Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Merdeka 100 Persen

image-profil

image-gnews
Iklan

Anton Kurnia
Esais dan Penulis Cerpen

Bangsa yang merdeka, menurut Tan Malaka (1897-1949) dalam risalahnya, Merdeka 100% (1946), adalah bangsa yang sanggup mandiri secara mental, budaya, politik, pertahanan, dan ekonomi; tidak bergantung pada dan dikuasai oleh bangsa lain.

Jika menimbang definisi di atas, apakah kita sebagai bangsa memang telah merdeka dan layak merayakannya dengan gegap-gempita? Begitu meriahnya perayaan itu, sehingga-menurut laporan FITRA, LSM yang kritis terhadap penggunaan APBN-rangkaian pesta peringatan hari ulang tahun kemerdekaan ke-69 Republik Indonesia di Istana Negara menghabiskan dana lebih dari Rp 11 miliar.

Kalau kita menggunakan ukuran Tan Malaka, tak berlebihan jika kita nyatakan bahwa sesungguhnya saat ini kita belum merdeka 100 persen. Mengapa begitu? Walau mungkin secara mental kita sudah bisa melepaskan diri dari karakter pecundang bangsa terjajah dan inferiority complex yang menyertainya, di bidang politik dan pertahanan kita sudah bisa menyatakan diri berdaulat. Secara budaya, kita bahkan bisa berekspansi ke antero lain dan menyumbang secercah cahaya untuk dunia melalui karya seni dan sastra. Tapi, secara ekonomi, kita masih separuh bergantung pada kekuatan kapitalisme dan neokolonialisme asing. Itu terbukti dengan masih dikuasainya sumber daya alam dan cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak, seperti minyak bumi dan pertambangan, oleh pihak asing.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Seorang kawan menceritakan kepada saya kisah tentang kaum Mardijkers. Konon, orang-orang "Portugis Hitam", yakni budak-budak dari Afrika (terutama Mozambique dan Angola), India (Goa), dan Malaka yang dibawa kaum kolonial Portugis ke Hindia Belanda pada abad ke-16, saat tentara dagang Portugis kalah perang dari VOC alias Belanda, diberi pilihan oleh penguasa kolonial Belanda di Batavia (kini Jakarta). Pilihan itu: tinggal dan diberi lahan di kawasan Kampung Tugu (kini masuk wilayah Kecamatan Koja, Jakarta Utara) sebagai orang merdeka tapi harus pindah agama menjadi Kristen Protestan seperti orang-orang Belanda, atau tetap memeluk Katolik seperti majikan mereka orang-orang Portugis tapi dibuang ke Nusa Tenggara sebagai budak.

Sebagian dari mereka memilih yang pertama, dan menetap di Kampung Tugu hingga beranak-pinak dan menurunkan beberapa generasi yang kemudian dikenal sebagai orang-orang yang mempopulerkan musik keroncong. Mereka inilah yang disebut kaum Mardijkers, yakni "orang-orang yang dimerdekakan". Walau secara formal mereka dianggap merdeka, bukan lagi budak, pada hakikatnya kaum Mardijkers ini tidak merdeka, bahkan terjajah sampai mati secara mental dan spiritual. Sebab, mereka terpaksa harus berganti keyakinan demi mendapatkan label "merdeka".

Kita tentu tak mau seperti kaum Mardijkers. Secara formal telah merdeka tapi sebagai syarat harus menukar "kemerdekaan" itu dengan menggadaikan kedaulatan ekonomi kita kepada pihak asing. Seperti termaktub dalam risalah Tan Malaka, hendaknya kita bisa merdeka 100 persen demi mewujudkan cita-cita bersama menjamin kesejahteraan, keamanan, dan kedamaian bagi seluruh rakyat Indonesia. Jika hal itu telah terwujud, barulah kita layak merayakan kemerdekaan kita sebagai bangsa secara gegap-gempita.

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Belajar Sejarah, Ini 7 Rekomendasi Film Kemerdekaan Indonesia

17 Agustus 2022

Poster Film De Oost. Foto: IMDB
Belajar Sejarah, Ini 7 Rekomendasi Film Kemerdekaan Indonesia

Belajar sejarah tak melulu dari buku melainkan juga bisa lewat menonton film. Simak ulasannya di sini.


Pelurusan Sejarah Ratu Kalinyamat Harus terus Diupayakan

5 Juni 2022

Pelurusan Sejarah Ratu Kalinyamat Harus terus Diupayakan

Menyosialisasikan perjuangan Ratu Kalinyamat lewat pagelaran seni-seni tradisional yang digemari masyarakat, harus terus ditingkatkan.


Nasib Laksamana Maeda Usai Dukung Kemerdekaan Indonesia

17 Agustus 2021

Laksamana Maeda. wikipedia.org
Nasib Laksamana Maeda Usai Dukung Kemerdekaan Indonesia

Laksamana Maeda dianggap pengkhianat karena mendukung kemerdekaan Indonesia. Bagaimana nasibnya?


BM Diah, Wartawan Penyelamat Naskah Asli Proklamasi

16 Agustus 2021

Perjuangan B.M. Diah, wartawan yang menemukan teks proklamasi diabadikan ke dalam cerita komik. Istimewa Dasman Djamaluddin, penulis buku B.M. Diah.
BM Diah, Wartawan Penyelamat Naskah Asli Proklamasi

BM Diah mengatakan naskah asli teks proklamasi dibuang ke tempat sampah begitu saja usai diketik oleh Sayuti Melik.


Askar Perang Sabil, Pasukan Pejuang Kemerdekaan Bentukan Muhammadiyah

16 Agustus 2021

Beberapa yang dicurigai sebagai pejuang kemerdekaan, akan segera dipisahkan untuk kemudian diperiksa sebagai tawanan perang, Desember 1948. National Archive/Onbekend
Askar Perang Sabil, Pasukan Pejuang Kemerdekaan Bentukan Muhammadiyah

Ulama Muhammadiyah di Yogyakarta membentuk satuan Askar Perang Sabil (APS) untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia


AR Baswedan, Tokoh Keturunan Arab yang Berjuang untuk Kemerdekaan RI

14 Agustus 2021

Gubernur DKI Jakarta memajang foto dirinya, ayahnya dan kakeknya dalam memperingati Hari Ayah Nasional
AR Baswedan, Tokoh Keturunan Arab yang Berjuang untuk Kemerdekaan RI

AR Baswedan merupakan kakek dari Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan


Mengenal Sukarni, Penculik Bung Karno ke Rengasdengklok

5 Agustus 2021

Sukarni Kartodiwirjo. Foto: IKPNI
Mengenal Sukarni, Penculik Bung Karno ke Rengasdengklok

Sukarni bersama tokoh pemuda lainnya menculik Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok jelang kemerdekaan Indonesia


Kisah Kurir Kemerdekaan Pengirim Kabar Proklamasi 1945

17 Agustus 2017

Paskibra cilik berbaris di acara Napak Tilas Proklamasi Republik Indonesia di Tugu Proklamasi, Jakarta, 16 Agustus 2014. Acara tahunan tersebut melibatkan beberapa komunitas dan siswa SMK dan SMP Jakarta sebagai rangkaian mengingat sejarah proklamasi RI pada 17 Agustus 1945. TEMPO/Dhemas Reviyanto
Kisah Kurir Kemerdekaan Pengirim Kabar Proklamasi 1945

Dua bulan setelah Proklamasi 1945, Kepala Kepolisian Negara Raden Said Soekanto memberi tugas kepada pemuda-pemuda menyebarkan berita proklamasi.


Amir Hamzah: Raja Penyair Pujangga Baru yang Mati Tragis

16 Agustus 2017

Amir Hamzah di Tanjung Pura, Sumatera Utara
Amir Hamzah: Raja Penyair Pujangga Baru yang Mati Tragis

Amir Hamzah mempromosikan pentingnya kemerdekaan hingga ke dusun. Dibunuh karena dianggap pengkhianat.


Infografis: Drama Menegangkan Seputar Proklamasi 17 Agustus 1945

31 Juli 2017

Pengunjung berfoto di dekat patung Soekarno di Museum Perumusan Naskah Proklamasi, di Jakarta, 17 Agustus 2015. Rumah yang pernah menjadi kediaman Laksamana Muda Maeda ini adalah tempat naskah proklamasi dirumuskan dan ditandatangani oleh Soekarno sebelum dibacakan 70 tahun lalu. TEMPO/Wisnu Agung Prasetyo
Infografis: Drama Menegangkan Seputar Proklamasi 17 Agustus 1945

Inilah catatan harian kita seputar Proklamasi 17 Agustus 1945. Ada kisah yang Anda belum tahu?