Pemerintah semestinya berhenti mengeluh soal melambungnya harga kedelai. Ini kejadian yang selalu berulang saban tahun. Diperlukan lebih dari sekadar janji untuk mengatasi krisis bahan pangan strategis ini. Kementerian Pertanian terbukti gagal memenuhi janji swasembada kedelai. Kementerian Perdagangan pun tak mampu menata impor supaya terjadi persaingan yang sehat dan bebas dari dominasi segelintir pemain.
Sulit untuk tidak bergantung pada kedelai impor. Kebutuhan rata-rata adalah 2,8 juta ton per tahun, sedangkan produksi kedelai lokal hanya mampu memasok sekitar 30 persennya. Ini berkebalikan dari keadaan pada 1992, ketika Indonesia mampu berswasembada kedelai dengan dukungan lahan 1,66 juta hektare. Luas area tanam kedelai tinggal 678 hektare pada 2001, dan nyaris tak pernah beranjak naik hingga sekarang.
Minat petani menanam salah satu palawija ini pudar karena tak kuat bersaing dengan kedelai impor. Pemerintah Amerika Serikat memberikan kredit ekspor kepada importir kedelai di sini dengan bunga rendah. Akibatnya, harga kedelai impor jauh lebih murah. Sebaliknya, atas desakan Dana Moneter Internasional saat krisis ekonomi pada 1998, pemerintah melepaskan insentif untuk petani kedelai. Tak ada lagi kebijakan harga dasar pembelian kedelai seperti pada masa-masa swasembada, yang besarnya 1,5 kali harga gabah. Bertanam kedelai menjadi tak menarik lagi.
Sulit untuk tidak mengatakan bahwa pemerintah seperti tak pernah belajar dari krisis sebelumnya. Langkah-langkah yang diambil terkesan reaksioner dan tidak menyentuh akar persoalan. Kementerian Perdagangan, misalnya, lantas buru-buru menginstruksikan Badan Usaha Logistik mengimpor kedelai.
Cara itu bisa saja cespleng untuk sesaat, tapi penyakit pada tata niaga kedelai tetap bercokol. Ada hal yang lebih penting dilakukan pemerintah, yakni menghukum para spekulan dan pelaku kartel. Dugaan adanya permainan kotor ini disinyalir oleh banyak kalangan, termasuk Bank Indonesia dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo sampai heran, "Turunnya nilai tukar rupiah terhadap dolar tahun ini hanya 11 persen, tapi mengapa harga kedelai naik lebih dari 40 persen? Itu pasti ulah spekulan." Pemerintah semestinya tak membiarkan para spekulan mengacaukan ketahanan pangan. Perlu ada sanksi keras untuk mereka.
Kementerian Pertanian seharusnya juga tak cuma mengeluhkan terbatasnya lahan pertanian untuk kedelai. Itu klise. Mereka harus mencari terobosan dengan memanfaatkan 7 juta hektare lahan telantar. Toh, sudah ada Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian, yang menjadi dasar hukum.
Yang juga tak bisa disepelekan, seperti yang dilakukan di banyak negara termasuk Amerika Serikat, pemerintah tak perlu ragu memberikan insentif agar para petani bisa bersaing. Insentif diberikan untuk meningkatkan indeks ketahanan pangan kita, yang saat ini ada pada urutan kelima di ASEAN. Indonesia kalah oleh Thailand, Vietnam, Malaysia, dan Filipina.