Meski berbagai bukti menunjukkan pembentukan daerah baru tak otomatis menyejahterakan rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat tetap ngotot. Kali ini mereka akan membahas undang-undang pembentukan delapan provinsi dan 57 kabupaten/kota. Pembahasan ini semestinya dibatalkan. DPR dan pemerintah perlu kembali mengkaji dengan serius banyaknya dampak negatif pemekaran wilayah.
Dampak itu sudah kasatmata. Hasil evaluasi Kementerian Dalam Negeri menemukan 65 sampai 75 persen daerah baru terbukti gagal. Kegagalan itu terwujud dalam berbagai bentuk. Yang paling banyak, pemerintah wilayah baru ternyata tidak mampu melayani warganya dengan baik karena rapuhnya struktur anggaran daerah. Evaluasi menemukan separuh dari 526 kabupaten, termasuk kabupaten baru, menghabiskan 50 persen dari anggaran daerahnya untuk belanja pegawai.
Dengan anatomi anggaran seperti itu, mustahil mereka bisa melayani warganya. Anggaran yang sudah cekak itu sebagian besar hanya habis untuk membiayai mesin birokrasi. Sisanya pun akan lebih banyak dipakai untuk merawat infrastruktur yang sudah ada, bukannya membangun infrastruktur baru.
Belum lagi berbagai konflik yang bermunculan. Konflik bahkan sering sudah meletus sebelum pemekaran diresmikan. Contoh terakhir adalah kerusuhan di Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan, Mei 2013 lalu. Kerusuhan meledak setelah pendukung usulan kabupaten baru, Musi Rawas Utara, mengamuk memaksa usulannya disetujui. Dua kantor polisi dibakar, empat orang tewas dalam huru-hara ini.
Sebetulnya, pada 2009, pemerintah sudah menetapkan moratorium pemekaran wilayah. Namun moratorium terbatas hanya sampai 2012. Setelahnya, pemerintah cenderung "mengalah" dengan membuka lagi keran pemekaran. Kalangan anggota DPR yang getol mendukung pembentukan daerah baru berdalih tak mungkin menolak desakan konstituen. Alasan ini mengada-ada, karena banyak desakan publik untuk soal lain toh dengan mudah ditolak DPR.
DPR tentu tak menyebutkan alasan lain mengapa mereka cenderung menyetujui pemekaran wilayah, yaitu keuntungan politik bagi partainya. Dengan adanya wilayah baru, partai politik berpeluang memasang kadernya menjadi kepala daerah dan sederet jabatan lain. Yang terjadi kemudian bukan hanya transaksi politik, tapi juga uang. Tuntutan pembentukan wilayah baru pun melahirkan peluang suap-menyuap agar pemekaran didukung para legislator. Ada pula modus lain, yaitu para calon kepala daerah yang kalah dalam pemilihan lalu mengusulkan pembentukan daerah baru agar bisa memimpin di sana.
Praktek seperti itulah yang menimbulkan mudarat pembentukan wilayah baru. Munculnya wilayah baru seharusnya berakibat membaiknya pelayanan. Pemekaran wilayah akan menguntungkan bagi kawasan yang terabaikan karena terlalu jauh dari ibu kota provinsi atau kabupaten. Tapi, seperti yang kita lihat, bukan itu yang terjadi.
Tren pemekaran yang dilakukan asal-asalan itu mesti dihentikan. Sudah waktunya pemerintah kembali menetapkan moratorium pemekaran wilayah. Harus ada kajian menyeluruh mengenai mana wilayah yang layak dimekarkan dan mana yang tidak, sebelum keran kembali dibuka.