Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Kembali ke Khitah Pers Profesional

image-profil

image-gnews
Iklan

Agus Sudibyo
Direktur Eksekutif Matriks Indonesia

Pemilihan presiden 9 Juli 2014 benar-benar telah menguji kredibilitas pers Indonesia. Muncul penilaian umum bahwa pers menjadi bagian dari masalah. Pers dianggap turut memperkeruh suasana politik meskipun harus diakui tetap ada media yang bersikap hati-hati dan proporsional. Karena itulah, ketika pemilihan presiden telah selesai, kini tiba saatnya untuk mengingatkan seluruh komunitas pers Indonesia tentang pentingnya mengembalikan khitah pers profesional sebagai pilar keempat demokrasi.

Dalam tatanan demokrasi modern, fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif harus dilengkapi dan dikontrol oleh pers yang bebas dan profesional. Meskipun berada di luar sistem politik formal, pers dianggap sebagai pilar keempat demokrasi yang berfungsi mengontrol jalannya kekuasaan. Pers adalah peniup peluit jika muncul indikasi pelanggaran atau kecurangan dalam penyelenggaraan kekuasaan di semua lini dan level pemerintahan. Demokrasi akan maju jika pers bebas menjalankan fungsinya. Sebaliknya, pers juga harus senantiasa menjaga etika dan profesionalismenya.

Mewujudkan komitmen tersebut pada saat ini tentu bukan perkara yang mudah. Beban lebih berat justru ditanggung pers yang telah mendukung atau bersimpati kepada pencalonan Jokowi. Kemenangan Jokowi tidak lepas dari dukungan komunitas pers. Namun, begitu Jokowi menjadi presiden, pers harus kembali menjadi kekuatan pengontrol kekuasaan, tanpa peduli siapa presidennya. Pers harus dapat menanggalkan simpati atau preferensi pribadi kepada Jokowi. Lupakan gambaran Jokowi sebagai "wong cilik" yang harus dibela! Begitu resmi menjadi presiden, Jokowi menjadi bagian dari struktur kekuasaan yang harus diawasi.

Di sini posisi tim sukses dan pers perlu dibedakan. Ketika Jokowi menjadi presiden, tim sukses tetap dapat mendampinginya dengan menduduki jabatan strategis atau menjalankan fungsi-fungsi ad hoc tertentu. Namun, sebaliknya, pers yang bersimpati kepada Jokowi harus segera kembali kepada posisinya sebagai pers profesional dan kritis terhadap kekuasaan. Sistem demokrasi tak memberi tempat kepada pers yang partisan. Terjadi suatu kemunduran serius jika lima tahun ke depan ada pers yang terus-menerus dan tanpa reserve membela presidennya. Yang dibutuhkan adalah pers yang mampu bersikap proporsional, kritis, dan menjaga etika. Tranformasi dari pendukung calon presiden Jokowi menjadi pengontrol Presiden Jokowi inilah uji kedewasaan dan kematangan berikutnya yang harus dilalui pers Indonesia pada umumnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di sisi sebaliknya, perlu ditegaskan bahwa media massa dan wartawan yang selama ini mendukung Prabowo Subianto tidak perlu menghilangkan sikap kritis kepada Jokowi. Publik justru akan menertawakan mereka jika tiba-tiba berubah jadi memuji-muji Jokowi. Yang harus dihilangkan dari diri mereka adalah kecenderungan menuduh tanpa dasar, menghakimi, dan memfitnah. Yang mutlak harus ditambahkan dalam kinerja mereka adalah disiplin verifikasi dan asas praduga tak bersalah. Sikap kritis dan skeptis terhadap Jokowi justru harus tetap dipertahankan.

Bagaimana dengan Jokowi sendiri? Jokowi perlu menyadari bahwa "bulan madu" dengan pers telah selesai begitu dia resmi menjadi presiden. Selanjutnya, Jokowi harus siap mental menjadi sasaran kritik pers, tak terkecuali pers yang telah mendukung pencalonannya. Dalam hal ini, Jokowi perlu belajar dari Ali Sadikin, mantan Gubernur DKI Jakarta. Sebagai gubernur, Ali Sadikin sulit percaya kepada para bawahannya yang selalu datang dengan laporan bertipe "asal bapak senang".

Laporan itu selalu menyatakan penyelenggaraan pemerintahan berjalan baik, meskipun kenyataannya sarat kekurangan dan pelanggaran. Dalam mengevaluasi kinerja pemerintahannya, Ali Sadikin kemudian lebih mengandalkan pemberitaan pers atau kritik lembaga swadaya masyarakat (LSM). Dia tidak alergi terhadap kritik pedas media atau LSM, bahkan menggunakannya sebagai "audit-gratis" kinerja pemerintahan. Dia tidak perlu menyewa auditor swasta, cukup dengan menyimak kritik media dan LSM yang, meskipun tidak seratus persen benar, tetap dapat digunakan sebagai tolok ukur.

Namun, sebaliknya, Bang Ali tak ragu-ragu memperkarakan kritik yang serampangan atau menghakimi. Ali Sadikin sangat tegas terhadap media atau LSM yang asal tuduh. Sikap yang demikian ini patut menjadi rujukan Jokowi-Jusuf Kalla. Ambil sisi positif pemberitaan media sebagai bahan evaluasi kinerja pemerintah dan jangan ragu-ragu mempersoalkan pemberitaan yang dianggap berlebihan dengan memanfaatkan otoritas Dewan Pers, Komisi Pemilihan Indonesia, bahkan penegak hukum sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Pers.

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Tulisan Soal Makar, Fadli Zon Akan Laporkan Allan Nairn ke Polisi

25 April 2017

Wakil Ketua DPR Fadli Zon di Warung Daun, Jakarta, 5 November 2016. Tempo/Vindry Florentin
Tulisan Soal Makar, Fadli Zon Akan Laporkan Allan Nairn ke Polisi

Dalam tulisan Allan Nairn, Fadli Zon disebut terlibat dalam upaya makar untuk menggulingkan Presiden Joko Widodo.


Disebut dalam Laporan Allan Nairn, Hary Tanoe Lapor ke Polisi  

25 April 2017

Hary Tanoesoedibjo. TEMPO/Imam Sukamto
Disebut dalam Laporan Allan Nairn, Hary Tanoe Lapor ke Polisi  

Pelaporan Hari Tanoe bermula dari tulisan Ahok Hanyalah Dalih untuk Makar yang ditulis oleh jurnalis asal Amerika Serikat, Allan Nairn.


Diadukan Mabes TNI ke Dewan Pers, Tirto.id: Kami Kooperatif  

24 April 2017

Dewan Pers. Foto: dewanpers.or.id
Diadukan Mabes TNI ke Dewan Pers, Tirto.id: Kami Kooperatif  

Sapto berujar, pihaknya akan menunggu mekanisme yang diterapkan Dewan Pers saat menerima pengaduan.


Jokowi Jarang Dikritik, SBY: Pers Tak Seganas Dulu  

11 Juni 2016

Ketum Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono, menggelar acara buka bersama di kediamannya, Cikeas, Bogor, 10 Juni 2016. Isu Ekonomi dan Hukum menjadi bahasan SBY pada acara ini. Tempo/Dian Triyuli Handoko
Jokowi Jarang Dikritik, SBY: Pers Tak Seganas Dulu  

Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono merasa tercengang melihat perubahan pers saat ini.


Begini Modus Wartawan Abal-abal Memeras

14 April 2016

Yosep Stanley Adi Setyo dari Dewan Pers, memberikan pemaparan dalam acara diskusi ruang tengah yang membahas
Begini Modus Wartawan Abal-abal Memeras

"Yang paling banyak muncul adalah di daerah yang tingkat korupsinya tinggi. Fenomena media abal-abal ini tidak kami temukan di Malaysia atau Singapura."


Dulu Pemerintah Tekan Pers, Jokowi: Sekarang Sebaliknya  

9 Februari 2016

Presiden Joko Widodo memberikan keterangan pres terkait proses sidang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI di Istana Negara, Jakarta, 15 Desember 2015. Jokowi menyampaikan jika dirinya terus mengikuti sidang etik Ketua DPR Setya Novanto di MKD. TEMPO/Aditia Noviansyah
Dulu Pemerintah Tekan Pers, Jokowi: Sekarang Sebaliknya  

Presiden Joko Widodo meminta pers patuh terhadap kode etik jurnalistik, terutama media online.


Menunggu Presiden Berantas Amplop Wartawan

9 Februari 2016

Menunggu Presiden Berantas Amplop Wartawan

Presiden Joko Widodo memastikan akan menghadiri acara puncak Hari Pers Nasional 2016 di Mataram, Nusa Tenggara Barat, 9 Februari 2016. Dalam acara itu, Jokowi akan diberi panggung untuk berinteraksi dengan kurang-lebih 600 wartawan nasional, petinggi negara, dan tokoh masyarakat. Supaya pertemuan itu bermakna, bantuan atau kebijakan strategis apa yang bisa Presiden keluarkan agar kehidupan pers Indonesia semakin sehat?


Pers di Indonesia Dinilai Kena Sindroma Berlusconian  

21 Januari 2016

Bagir Manan. TEMPO/Aditia Noviansyah
Pers di Indonesia Dinilai Kena Sindroma Berlusconian  

Kepentingan pemilik media di industri pers dinilai mempengaruhi pemberitaan, mirip seperti Berlusconi di Italia.


Dewan Pers: Banyak Media Massa Terkontaminasi Politik

20 Januari 2016

Ilustrasi: TEMPO/Machfoed Gembong
Dewan Pers: Banyak Media Massa Terkontaminasi Politik

Ada fenomena sejumlah pemilik media membentuk partai politik.


Giliran Rizal Ramli 'Kepret' Pers: Banyak yang Sibuk Bisnis Pencitraan  

2 November 2015

Menteri Koordinator bidang Kemaritiman Rizal Ramli dalam Rapat Kerja Pansus Pelindo II di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, 29 Oktober 2015. TEMPO/Dhemas Reviyanto
Giliran Rizal Ramli 'Kepret' Pers: Banyak yang Sibuk Bisnis Pencitraan  

Menurut Rizal Ramli, sudah waktunya pers menjadi bagian dari transformasi bangsa, jangan sibuk dengan bisnis pencitraan.