Brangkali sepak bola Indonesia sebenarnya tak membutuhkan PSSI, Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia itu. Sebanyak 24 pemain di bawah usia 19 tahun yang dicari pelatih Indra Sjafri secara blusukan ke pelosok-dan tanpa bantuan PSSI-terbukti bisa bermain gemilang. Dalam dua bulan terakhir, Evan Dimas dan teman-temannya membuat kita ternganga: menjuarai Piala Federasi Asia Tenggara di Sidoarjo, dan pekan lalu menundukkan Korea Selatan, juara bertahan dan pemegang 12 kali gelar Piala Asia.
Cara pelatih Indra Sjafri menemukan bakat hebat Evan Dimas cs menjadi bukti telak bahwa PSSI telah gagal membuat turnamen yang melahirkan tim nasional yang kuat. Di negara mana pun, induk organisasi sepak bola yang dibiayai negara bertugas melahirkan kompetisi lokal. Kompetisi ini menjadi saringan alami bagi lahirnya pemain bagus.
Pelatih Indra Sjafri justru tak menemukan para pemainnya dari kompetisi yang digelar PSSI. Evan Dimas, gelandang dan kapten yang menghidupkan permainan tim Indonesia, merupakan contohnya. Evan bermain untuk Persebaya 1927, klub di Surabaya yang tak diakui PSSI karena mereka tergabung dalam Liga Primer Indonesia. PSSI hanya mengakui pemain dari klub yang berkompetisi di Liga Super Indonesia. Dua liga itu merupakan buntut dari konflik kelompok pengusaha Arifin Panigoro, yang menyelenggarakan Liga Primer, dengan kubu Nirwan Bakrie, yang membuat Liga Super. Orang-orang dari dua kubu itu saat ini duduk di PSSI, tapi mereka gagal menyatukan dua liga tersebut.
Padahal keberadaan Evan sangat penting. Dia bisa disebut sebagai salah satu pahlawan tim usia 19 tahun. Dia bahkan membuat tiga gol cantik ke gawang Korea Selatan sehingga Indonesia bisa bermain di putaran final Piala Federasi Asia di Myanmar pada Oktober tahun depan.
Status Evan Dimas itu membuat Korea Selatan dan tim nasional negara lain menggugat tim Indonesia. Mereka menuduh PSSI memakai pemain ilegal. Tuduhan yang sangat memalukan. Jika Organisasi Sepak Bola Dunia (FIFA) atau Asia yang mengatur kompetisi antarnegara itu mengabulkan keberatan Korea Selatan, bukan mustahil tim nasional tersingkir karena dianggap tak memenuhi syarat administrasi.
Di samping Evan, pemain lain yang direkrut Indra juga berasal dari klub "ilegal", bahkan beberapa yang lain tak punya klub. Jika status ini tak segera dibereskan oleh PSSI, dunia akan terus melihat kegagalan Indonesia justru bukan karena kemampuan teknis bermain bola, melainkan lantaran arogansi para pengurus PSSI. Para pemain hebat tapi "ilegal" itu tidak bisa berkembang karena tak punya lisensi.
Pengurus PSSI seharusnya berkaca pada situasi itu. Egoisme para pengurus hanya membuat sepak bola Indonesia semakin terpuruk. Kesalahan inilah yang tak disadari oleh lembaga-lembaga yang mengurus kepentingan sepak bola, termasuk Menteri Pemuda dan Olahraga Roy Suryo.
Tak ada kata terlambat untuk kembali menyatukan liga dan membuat kompetisi yang bagus untuk menyaring bakat-bakat hebat anak-anak Indonesia. Indonesia membutuhkan PSSI yang kompak dan kuat agar melahirkan tim nasional yang dahsyat.