Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Kepala Daerah Pilihan Politikus

image-profil

image-gnews
Iklan

TEMPO.CO, Jakarta - Zainal Arifin Mochtar, Pengajar Ilmu Hukum FH UGM Yogyakarta  

Perjalanan sepuluh tahun pemilihan umum kepala daerah (pilkada) secara langsung sudah meninggalkan jejak berbentuk begitu banyak persoalan. Inilah alasan-alasan yang selalu dikaitkan dengan upaya mengembalikan pilkada ke rezim pemilihan oleh DPRD.

Pertama, beberapa hal yang paling sering disebutkan adalah soal gangguan keamanan yang mengikuti setiap proses pilkada. Sering kali, kekalahan tidak dapat diterima dengan mengagregasi ketidakpuasan menjadi kekerasan dan aksi massa. Data Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri perihal rekapitulasi kerugian pascakonflik pilkada di provinsi maupun kabupaten dan kota melansir begitu banyak korban jiwa dan harta benda akibat kekerasan tersebut.

Kedua, pemilu langsung memicu korupsi di daerah. Pilkada membuat ongkos politik yang sama sekali tidak sedikit. Ada "uang politik" (yang bertendensi negatif) untuk membeli suara dan mempengaruhi pemilih secara langsung. Ada juga "ongkos politik" untuk membeli "perahu" partai, kampanye, maupun ketika bersengketa di Mahkamah Konstitusi. Tingginya biaya ini membuat kandidat kepala daerah harus mencari sumber dana yang besar, yang biasanya didapat melalui pemodal secara tidak gratis. Akhirnya, jika menang, penyandang dana harus dibayar dengan bayaran yang direkayasa dari anggaran daerah. Belum lagi uang negara yang dikeluarkan karena penyelenggaraan pilkada.

Ketiga, merusak institusi pengawal pemilihan umum. Berapa banyak anggota Komisi Pemilihan Umum Daerah, Bawaslu Daerah, dan Panwaslu Daerah yang sudah terindikasi ikut dalam permainan uang. Bahkan yang terheboh tentu saja adalah perilaku Ketua MK Akil Mochtar, yang menjual kewenangannya dalam sengketa perselisihan hasil pilkada.

Keempat, meskipun proses panjang telah dilalui hingga sengketa di MK, hal itu tetap tak menjamin pelaksanaan selesai. Masih ada tindakan menguji SK Pengangkatan Kepala Daerah ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Hal yang kemudian memberi kebingungan tersendiri perihal putusan MK yang tidak lagi dianggap final dan mengikat, tapi bahkan bisa diuji dan diberi pendapat hukum oleh hakim PTUN.

Kelima, rusaknya birokrasi di daerah. Perkubuan birokrasi sangat mungkin terjadi pada pilkada. Apalagi jika kandidatnya punya kuasa kuat sebagai petahana yang kembali bertarung. Daya menakutkan mereka kepada pada birokrat di daerah akan sangat kuat dalam mempengaruhi netralitas pegawai daerah.

Tentu saja semua hal tersebut harus dicari jalan keluarnya. Tapi, apakah dengan mengembalikan pilkada ke DPRD adalah solusinya? Sebenarnya, tidak. Bahkan boleh jadi hal itu hanya mengalihkan masalah sementara. Misalnya, tentang kekerasan. Ancaman kekerasan dengan mudah beralih dari kantor-kantor pelaksana pemilu ke kantor DPRD atau kantor partai.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Perihal gugat-menggugat hasil keterpilihan di DPRD akan jauh lebih mudah digugat di PTUN, karena tidak lagi menjadi obyek keputusan yang dikecualikan dalam UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN. Praktek PTUN selama ini, yang menerima permohonan pengujian SK pengangkatan kepala daerah hasil pilkada, sesungguhnya merupakan praktek yang keliru dari hakim PTUN, karena melanggar Pasal 2 huruf e dan g UU Nomor 5 Tahun 1986 tersebut. Makin muluslah perihal gugat-menggugat tersebut.

Begitu pun dengan konsep pemilu berbiaya mahal. Kontestan tetap harus mengeluarkan uang untuk membeli "perahu" ke partai dan membayar anggota-anggota DPRD dalam pemilihan. Hal yang persis sama terjadi pada masa lalu. Calon-calon tertentu yang sudah menabur uang di DPRD hanya akan dipertandingkan seadanya, seakan-akan penuh warna, akan tetapi sudah ditentukan pemenangnya oleh uang yang sudah dibagi sebelum proses pemilihan. Jika menyangkut soal menghemat uang negara, ide pemilu yang serentak sesungguhnya jauh lebih menarik dalam menyederhanakan pengeluaran negara.

Harus diingat, dengan mengembalikan proses pilkada ke DPRD, banyak potensi terbunuhnya kehidupan demokrasi. Pertama, dengan mengembalikan ke DPRD, akan sulit ada lagi kandidat independen yang tidak terikat ke partai mana pun. Di tengah buruknya kualitas hidup kepartaian di Indonesia, kandidat independen sesungguhnya adalah teguran, sekaligus motivasi bagi partai untuk berbenah.

Juga, dapat dibayangkan bila anggota Dewan pilihan rakyat tak akan ada lagi, dan diganti dengan pilihan politikus. Memang, DPRD adalah perwakilan rakyat, tapi secara realitas, fungsi representasi adalah salah satu yang paling sulit dijalankan oleh partai. Terkhusus jika sudah berhubungan dengan posisi jabatan publik kepala daerah. Keterputusan relasi rakyat dan perwakilan yang selama ini terjadi akan semakin terlanggengkan dengan pemilihan kepala daerah melalui DPRD.

Dengan pemilihan DPRD begini, bisa dibayangkan kualitas demokrasi yang akan terjadi, meskipun hal itu belum tentu melanggar kata demokratis yang dimaksudkan dalam UUD 1945.


Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Dana Pengawasan Pilkada 2015 di 27 Daerah Masih Bermasalah  

22 Agustus 2016

Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Muhammad. ANTARA/Hafidz Mubarak A
Dana Pengawasan Pilkada 2015 di 27 Daerah Masih Bermasalah  

Bawaslu telah meminta Mendagri Tjahjo Kumolo untuk memfasilitasi penyelesaian permasalahan dana hibah pengawasan pilkada 2015.


KPU Susun Opsi Verifikasi Dukungan Calon Perseorangan  

12 Juli 2016

Rapat pleno Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Kantor KPU ini memutuskan Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay menjadi pelaksana tugas (Plt) Ketua KPU menggantikan Husni Kamal Manik yang tutup usia pada Kamis (07/07). TEMPO/Aditia Noviansyah
KPU Susun Opsi Verifikasi Dukungan Calon Perseorangan  

Hadar bakal meminta bantuan Direktorat Pendudukan dan Catatan Sipil memastikan keberadaan pendukung calon perseorangan.


Kajian KPK: Ada Calon yang Hartanya Minus Maju di Pilkada  

29 Juni 2016

ANTARA/Wahyu Putro A
Kajian KPK: Ada Calon yang Hartanya Minus Maju di Pilkada  

KPK melakukan penelitian dengan mewawancarai 286 calon yang kalah pada pilkada. Ini temuannya.


Pemungutan Suara Ulang Pilkada Kabupaten Muna Diwarnai Keributan  

19 Juni 2016

TEMPO/Arif Fadillah
Pemungutan Suara Ulang Pilkada Kabupaten Muna Diwarnai Keributan  

Polisi mengevakuasi anggota KPUD Muna keluar dari TPS sambil melepaskan tiga tembakan ke udara.


Hari Ini Pemungutan Suara Ulang Pilkada Kabupaten Muna  

19 Juni 2016

TEMPO/Arif Fadillah
Hari Ini Pemungutan Suara Ulang Pilkada Kabupaten Muna  

Ini merupakan pemungutan suara ulang yang kedua kali akibat saling gugat dua pasangan calon kepala daerah.


Revisi UU Pilkada, Bawaslu Kini Bisa Periksa Politik Uang  

6 Juni 2016

Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Muhammad. ANTARA/Hafidz Mubarak A
Revisi UU Pilkada, Bawaslu Kini Bisa Periksa Politik Uang  

Bawaslu kini bisa memeriksa kasus politik uang dalam pilkada.


Syarat Calon Perorangan Dipersulit, Ini Kata Pendukung Garin  

6 Juni 2016

Sineas Indonesia Garin Nugroho. ANTARA/Teresia May
Syarat Calon Perorangan Dipersulit, Ini Kata Pendukung Garin  

Pendukung Garin menilai seharusnya DPR sebagai wakil rakyat membuat aturan yang lebih bermutu.


Disahkannya UU Pilkada Dinilai Memicu Potensi Konflik  

5 Juni 2016

Ilustrasi Rapat Paripurna di Gedung DPR, Jakarta. Tempo/Tony Hartawan
Disahkannya UU Pilkada Dinilai Memicu Potensi Konflik  

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil menilai, ada persoalan yang akan terjadi seusai DPR mengesahkan UU Pilkada.


Undang-Undang Pilkada Akhirnya Disahkan, Ini Reaksi PKS  

2 Juni 2016

Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI Jazuli Juwaini bersiap memimpin Rapat Pleno Fraksi PKS di Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, 11 April 2016. TEMPO/Dhemas Reviyanto
Undang-Undang Pilkada Akhirnya Disahkan, Ini Reaksi PKS  

PKS sebelumnya menilai anggota DPR yang maju ke pilkada tak perlu mundur dari keanggotaan di Dewan, melainkan hanya perlu cuti.


DPR Sahkan Undang-Undang Pilkada

2 Juni 2016

Ilustrasi Rapat Paripurna di Gedung DPR, Jakarta. Tempo/Tony Hartawan
DPR Sahkan Undang-Undang Pilkada

DPR akhirnya mengesahkan undang-undang tentang pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota dalam sidang paripurna hari ini.