Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Malino

Oleh

image-gnews
Iklan
"Dalam perdamaian, anak memakamkan bapak-bapak mereka; dalam peperangan, para bapak memakamkan anak-anak mereka." Di jalan-jalan Kota Ambon, siapa yang hidup di hari ini, yang Muslim ataupun yang Kristen, yang berpelukan, yang menangis, yang berbahagia karena berdamai, pada hakikatnya telah menguburkan sesuatu yang jadi bagian lekat riwayat mereka: sebuah masa lalu. Mereka ingin mengistirahatkan ingatan yang lengket dengan darah dan dendam selama tiga tahun sebelumnya: ingatan tentang tiga tahun perang saudara, tiga tahun yang telah membinasakan 8.000 manusia, menghancurkan entah berapa buah bangunan, dan menyengsarakan kehidupan sehari-hari. Singkat kata: tiga tahun yang telah membunuh harapan dan menguburkan benih masa depan. Seperti tersirat dari kata-kata Raja Croesus dari Lydia lebih dari 2.500 tahun yang silam itu, perdamaian, bukan perang, yang tahu betapa pentingnya hari esok. Dalam pelbagai segi, perdamaian di Maluku di akhir Februari 2002 ini mengandung cerita-cerita besar. Ia mungkin kabar baik terpenting di dunia di awal milenium ini. Ia sebuah kisah yang membanggakan hati, dan mengharukan, tentang orang-orang yang diam-diam membangun jembatan di antara dua kubu yang baku bunuh, agar pada akhirnya senjata diletakkan. Ia juga sebuah cerita betapa pada saat negara lemah, karena korupsi dan ketidakbecusan birokrasi, para warga bisa menunjukkan sebuah daya yang lebih efektif untuk membuat sejarah. Perdamaian di Maluku itu, yang ditandai oleh pertemuan di Malino?sebuah tempat nun di Sulawesi Selatan?juga membuat kita lebih tahu: ketika agama menjadi tanda identitas kelompok, ketika saling bunuh terjadi karena identitas itu, ada sesuatu yang diperlukan bersama, agar kehidupan tidak luluh-lantak: kita memerlukan sebuah negara yang tak memihak. Dengan kata lain, sebuah negara yang diterima posisinya se-bagai sesuatu yang tanpa identitas agama apa pun. Negara yang diterima posisinya sebagai sesuatu yang tanpa identitas agama apa pun, sebuah negara yang tak dianggap pilih kasih, adalah sebuah negara yang sekuler. Kata "sekuler", tentu saja, adalah kata yang gampang menerbitkan marah. Ia memang datang dari ketegangan masa silam Eropa. Sejak revolusi dahsyat pada tahun 1789 itu, sejarah Prancis, untuk mengutip kata-kata sejarawan Pierre Birnbaum, adalah "sebuah konfrontasi raksasa." Di satu kubu berdiri sebuah bangsa yang terdiri atas "para warga yang diperintah oleh Dewi Akal Budi." Di kubu lain, ada umat Kristen, "yang harap-harap cemas untuk memperoleh kembali lindungan Tuhan yang telah hilang dari diri mereka." Konfrontasi itu mereda sekarang, tapi belum sepenuhnya usai. Di Jerman, benturan yang serupa tecermin dalam Kulturkampf: perselisihan yang berlangsung selama lebih dari satu dasawarsa sejak 1871, antara Gereja Katolik dan pemerintahan Bismarck, ketika kedua belah pihak hendak menentukan siapa sebenarnya yang berkuasa misalnya atas sekolah dan perkawinan sipil. Tapi kini "sekuler" bukan lagi sebuah arti yang terkait erat dengan sejarah mana pun. Kulturkampf akhirnya menjadi kata yang tak terlepas dari arus besar modernitas, ketika interpretasi tentang dunia tidak lagi dikuasai oleh ajaran agama, apalagi takhayul, ketika dunia bukan lagi tempat yang penuh misteri, tak lagi menyihir dan mempesona. Di saat itu, ilmu pengetahuan, bukan Kitab Suci, yang makin berperan menjelaskan manusia dan posisinya. Apa yang semula dianggap sakral pun mulai terkikis kesakralannya, dan yang dulu merupakan yang tak tersentuh, atau "haram", akhirnya jadi bagian hidup yang bisa dibantah, ditelaah, bahkan diabaikan. Ketika pada tahun 1970 Nurcholish Madjid mengimbau perlunya "sekularisasi", itulah yang dimaksudkannya: ada beberapa hal, misalnya pengertian "Negara Islam", yang tidak selayaknya dianggap suci dan sebab itu tak boleh diganggu gugat. Sekitar dua dasawarsa kemudian, Abdolkarim Soroush dari Iran merumuskannya lebih lengkap, dalam hubungannya dengan demokrasi: sekularisme adalah sebuah sistem atau pola masyarakat yang menganggap bahwa tak ada aturan, tak ada nilai, yang berada di atas manusia untuk menilai dan mengujinya. Apa saja terbuka untuk dikritik: ucapan kepala negara, rumusan undang-undang, fatwa mahkamah, opini para pakar, suara wakil rakyat, tafsir para ulama. Jika apa saja terbuka untuk diuji dan dikritik, masyarakat pun akan berhubungan dengan kekuasaan yang hanya secara terbatas terkait dengan Yang Mahabenar. Dari sinilah lahir sebuah negara yang tak mungkin menganggap pembunuhan adalah perintah Tuhan, bahwa darah seseorang halal hukumnya, bahwa sengketa yang hancur-menghancurkan adalah sebuah jalan salib. Ada moralitas yang profan?di Indonesia tempo hari itu disebut "Pancasila"?yang akhirnya harus jadi dasar bersama, sebuah moralitas yang menghormati manusia tapi juga mengakui kerapuhannya, dan sebab itu bisa saling mengulurkan tangan. Dirumuskan atau tidak, moralitas yang sederhana itulah yang berlaku di jalan-jalan Kota Ambon hari itu. Di euforia dan kebahagiaan itu Tuhan tentu tidak dilupakan. Tapi saling benci dan saling bantai atas nama perintah-Nya telah jadi masa lalu?ibarat si bapak garang yang dimakamkan?karena perdamaian telah jadi hasrat umum, karena perdamaian adalah impian agar anak-anak bangkit lagi dan bisa berlari menjemput ombak yang datang tak mengancam: laut Maluku, masa depan. Goenawan Mohamad
Iklan


Artikel Terkait

    Berita terkait tidak ada



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Berita terkait tidak ada