TEMPO.CO, Jakarta - Muhidin M. Dahlan, kerani @warungarsip
Bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, buku itu penting. Termasuk rumah buku, yakni perpustakaan. Untuk itu, Ibu Negara via Solidaritas Istri Kabinet Indonesia Bersatu (Sikib) ditugaskan membuat Rumah Pintar di pelbagai penjuru Nusantara. Jumlahnya sudah lebih dari setengah juta unit. Terkadang, dari segi bangunan, Rumah Pintar jauh lebih kinclong ketimbang gedung perpustakaan daerah yang tampak kusam dan kelelahan berhadapan dengan zaman.
Bagi Presiden SBY, buku itu mahkota seorang pemimpin. Karena itu, ketika pulang dari muhibah ke luar negeri mewakili negara dan bangsa, ia kerap singgah di toko untuk membeli beberapa buku penting tentang politik, manajamen kepemimpinan, dan biografi.
Bagi Presiden SBY, buku itu memperkaya gagasan dan menambah perbendaharaan istilah dan lema. Karena itu, dalam berpidato, SBY betul-betul mengecek draf pidato yang dibuat staf khusus untuk melihat gagasan, alur, dan bahkan diksi. Untuk itu, jangan heran, dalam pidato SBY, terlalu banyak paragraf atau kalimat yang layak kutip, atau meminjam istilah generasi terbaru media sosial, "layak twit".
Bagi Presiden SBY, buku itu sahabat inspirasi. Dengan buku, SBY menjadi pencipta dan penulis lirik-lirik lagu. Menulis bait-bait lagu, bagi SBY, seperti kerja seorang penyair. Ia membutuhkan waktu tapa dan hening. Karena itu, jangan kaget kalau beberapa kali menemukan foto Presiden SBY duduk sendiri berhadapan dengan kertas kosong dengan latar alam kehijauan dan sunyi. Di dalam situasi yang hening itu, ia menulis syair lagu sebagai resultan puncak dari refleksi kesehariannya sebagai pemimpin negeri. Mungkin juga ia sedang menulis dan mengedit pidatonya.
Bagi Presiden SBY, buku itu warisan pemikiran. Karena itu, dalam beberapa kali kesempatan pada tahun-tahun pamungkas kekuasaannya selama 10 tahun ini, ia dengan lirih berkata bahwa ia membuat suatu lembaga dengan perpustakaan kaya koleksi/terpilih yang menjadi tempat para pemimpin muda masa depan Republik untuk mengasah gagasan. Ia juga merancang Museum Presiden jauh-jauh hari, di mana koleksi kepustakaan dan bibliografi tentang kepresidenan dan politik di dalamnya bisa ditemui. Perpustakaan dari Museum Presiden itu kelak menjadi sandaran warisan untuk tahu bagaimana lini masa pemikiran presiden-presiden Republik dalam waktu kebangsaan dan ruang kenegaraan kita.
Bagi Presiden SBY, buku itu mengabadikan. Maka ia menulis apa saja tentang dirinya. Menjelang masa menjabat Presiden RI lewat pemilihan langsung oleh rakyat pada 2004, buku biografinya, SBY Sang Demokrat, terbit. Separuh dari biografi tebal itu adalah foto-fotonya yang sekaligus menjadi epik, karena inilah buku biografi presiden dengan kuantitas foto terbanyak, yang mengalahkan dengan telak biografi Sukarno.
Dan pada akhir masa kekuasaannya, biografi harian SBY terbit dengan judul Selalu Ada Pilihan. Ia merefleksikan isu-isu terpilih selama 10 tahun, termasuk gosip panas tentang dirinya. Dan seperti seorang resi, tentu saja buku itu berisi banyak nasihat bijak untuk presiden berikutnya.
Akhirul kalam, bagi Presiden SBY, buku itu adalah cerminan sikap politik. Dalam buku, dialog yang intim adalah keharusan. Tak ada opsi pamer senjata dalam kamus kebijakan SBY. Karena itulah pemerintah SBY selamat meniti demokrasi yang konstitusional dalam kurun 10 tahun-sebuah transisi kepemimpinan politik paling sukses dalam sejarah RI. l