Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Langkah Mundur Pemilihan Kepala Daerah

image-profil

image-gnews
Iklan

TEMPO.CO, Jakarta - Sabam Leo Batubara, pengamat politik; Mantan Wakil Ketua Dewan Pers

Penyelesaian pro-kontra pemilihan kepada daerah (pilkada)-tetap langsung oleh rakyat atau oleh DPRD-akan diputuskan dalam Sidang Paripurna DPR pada 25 September 2014. Posisi terakhir, Koalisi Merah Putih yang beranggotakan Fraksi Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat Nasional, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Demokrat, ngotot mengubah aturan pilkada, dari dipilih langsung oleh rakyat menjadi dipilih oleh DPRD. Sementara itu, PDIP, PKB, dan Hanura berpendapat rakyat harus tetap memilih langsung pemimpinnya dalam pilkada.

Untuk menemukan pilihan terbaik, kesembilan Fraksi DPR itu diasumsikan masih konsisten terhadap tujuan bernegara kita, yaitu melindungi segenap bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Persoalannya, dalam mengupayakan tujuan nasional itu, siapa sebaiknya yang berdaulat dalam pilkada dan pilpres? Selama 69 tahun terakhir, tercatat ada tiga jawaban.

Pertama, penguasa rezim. Pada era Orde Lama dan Orde Baru, penguasa rezimlah penentu kepala daerah. Terkonsentrasinya kekuasaan di tangan penguasa rezim sesuai dengan doktrin Machiavelli, yang dalam buku The Prince mengatakan perhatian utama seorang penguasa untuk memenangi perjuangan politik secara efisien adalah dengan sistem otoriter.

Kedua, penguasa partai. Gerakan reformasi mengakhiri tirani eksekutif Orde Baru. Tapi yang muncul adalah daulat partai. Penguasa partai berhasil menjatuhkan Presiden Habibie. Pemilihan Umum 1999 menghasilkan PDIP sebagai peraih suara rakyat terbanyak. Kemudian muncul performa partai yang tidak menunjukkan kematangan dan fairness dalam berdemokrasi. Pemenang ketiga pemilu, PKB, mengusung figur Gus Dur, yang menjadi Presiden. Megawati (PDIP), pemenang pertama, menjadi wapres. Amien Rais dari PAN, pemenang kelima, menjadi Ketua MPR, dan Akbar Tanjung dari Golkar, pemenang kedua, menjadi Ketua DPR. Hasil pemilihan tersebut merupakan buah dari kedaulatan koalisi partai pecundang yang berhasil menghadang peraih legitimasi terbesar dari rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Ketidakmatangan dan unfairness partai berlanjut. Partai-partai pecundang bukannya sibuk membantu Presiden Gus Dur memajukan dan menyejahterakan rakyat, melainkan sibuk menjatuhkannya.

Ketiga, kedaulatan rakyat. Indonesia telah merdeka sejak 1945, tapi rakyatnya baru merdeka dari daulat penguasa rezim dan penguasai partai pada 2004. Lewat amendemen konstitusi, presiden dipilih langsung oleh rakyat. Pasal 56 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemilihan Daerah mengamanatkan bahwa kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat.

Hasil gerakan reformasi itu melahirkan presiden dan kepala daerah yang sesuai dengan kehendak rakyat, seperti SBY, Jokowi, Ahok, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, Bupati Bantaeng Nurdin Abdullah, dan Wali Kota Bandung Ridwan Kamil. Kepala-kepala daerah itu amat fokus dalam melayani kepentingan rakyat. Sebagian besar kepada daerah pilihan rakyat diduga, didakwa, atau telah dipidana dengan hukuman penjara akibat korupsi. Hal itu bukan karena sistem pilkada yang memihak rakyat, melainkan karena partai pengusung memasok calon-calon yang memang berbakat korupsi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kenapa pilkada oleh DPR harus ditolak? Pertama, paparan di atas memproyeksikan pilkada via DPRD bukan saja sebagai langkah mundur, tapi juga mengkhianati perjuangan gerakan reformasi untuk mengubah sistem pilkada dan pilpres dari sistem tak langsung ke sistem langsung oleh rakyat. Fakta-fakta empiris menunjukkan, meski pilpres dan pilkada oleh MPR/DPR dan DPRD lebih efisien dan hemat, hal itu bukan saja telah memposisikan rakyat sebagai burung beo, tapi juga telah melupakan kepentingan rakyat sebagai pemilik kedaulatan.

Kedua, dari temuan saya ketika berkunjung ke Parlemen Inggris di London, Edinburg, dan Canberra, saya menemukan bahwa pemilihan pimpinan nasional dan daerah di negara itu dilakukan oleh anggota dewan mereka. Pemilihan itu memenuhi prinsip demokrasi dan didukung oleh rakyat karena anggota parlemen tidak ada yang (1) malas menghadiri sidang; (2) tidak memahami tugas pokoknya sehingga menghasilkan UU yang menentang konstitusi; (3) memperdagangkan fungsi anggaran, legislasi, dan pengawasannya; (4) ramai-ramai dipidana dengan hukuman penjara akibat kasus korupsi. Dalam diskusi saya dengan beberapa anggota Dewan, dinyatakan bahwa demokrasi diakui tidak efisien dan berbiaya mahal, tapi demokrasi-lah yang paling efektif mendengar suara rakyat.

Ketiga, Pasal 1 ayat 2 UUD 45 asli menyebutkan, "Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR." Sebelumnya, berlandaskan pasal itu, pilpres dan pilkada dilakukan oleh penguasa rezim dan atau penguasa partai. Karena dalam prakteknya, MPR/DPR dan DPRD tidak tampil sebagai wakil rakyat, melainkan wakil penguasa rezim dan atau penguasa partai. Karena itu, pada era reformasi ini, pilkada harus berlandaskan amendemen konstitusi.

Berlandaskan Pasal 18 ayat 4, pilkada harus dipilih secara demokratis. Demokrasi yang bagaimana? Demokrasi terpimpin Sukarno atau demokrasi Pancasila Soeharto? Pasal 1 ayat 2 Amendemen II menegaskan bahwa demokrasi harus memastikan bahwa "kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD".


Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Dana Pengawasan Pilkada 2015 di 27 Daerah Masih Bermasalah  

22 Agustus 2016

Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Muhammad. ANTARA/Hafidz Mubarak A
Dana Pengawasan Pilkada 2015 di 27 Daerah Masih Bermasalah  

Bawaslu telah meminta Mendagri Tjahjo Kumolo untuk memfasilitasi penyelesaian permasalahan dana hibah pengawasan pilkada 2015.


KPU Susun Opsi Verifikasi Dukungan Calon Perseorangan  

12 Juli 2016

Rapat pleno Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Kantor KPU ini memutuskan Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay menjadi pelaksana tugas (Plt) Ketua KPU menggantikan Husni Kamal Manik yang tutup usia pada Kamis (07/07). TEMPO/Aditia Noviansyah
KPU Susun Opsi Verifikasi Dukungan Calon Perseorangan  

Hadar bakal meminta bantuan Direktorat Pendudukan dan Catatan Sipil memastikan keberadaan pendukung calon perseorangan.


Kajian KPK: Ada Calon yang Hartanya Minus Maju di Pilkada  

29 Juni 2016

ANTARA/Wahyu Putro A
Kajian KPK: Ada Calon yang Hartanya Minus Maju di Pilkada  

KPK melakukan penelitian dengan mewawancarai 286 calon yang kalah pada pilkada. Ini temuannya.


Pemungutan Suara Ulang Pilkada Kabupaten Muna Diwarnai Keributan  

19 Juni 2016

TEMPO/Arif Fadillah
Pemungutan Suara Ulang Pilkada Kabupaten Muna Diwarnai Keributan  

Polisi mengevakuasi anggota KPUD Muna keluar dari TPS sambil melepaskan tiga tembakan ke udara.


Hari Ini Pemungutan Suara Ulang Pilkada Kabupaten Muna  

19 Juni 2016

TEMPO/Arif Fadillah
Hari Ini Pemungutan Suara Ulang Pilkada Kabupaten Muna  

Ini merupakan pemungutan suara ulang yang kedua kali akibat saling gugat dua pasangan calon kepala daerah.


Revisi UU Pilkada, Bawaslu Kini Bisa Periksa Politik Uang  

6 Juni 2016

Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Muhammad. ANTARA/Hafidz Mubarak A
Revisi UU Pilkada, Bawaslu Kini Bisa Periksa Politik Uang  

Bawaslu kini bisa memeriksa kasus politik uang dalam pilkada.


Syarat Calon Perorangan Dipersulit, Ini Kata Pendukung Garin  

6 Juni 2016

Sineas Indonesia Garin Nugroho. ANTARA/Teresia May
Syarat Calon Perorangan Dipersulit, Ini Kata Pendukung Garin  

Pendukung Garin menilai seharusnya DPR sebagai wakil rakyat membuat aturan yang lebih bermutu.


Disahkannya UU Pilkada Dinilai Memicu Potensi Konflik  

5 Juni 2016

Ilustrasi Rapat Paripurna di Gedung DPR, Jakarta. Tempo/Tony Hartawan
Disahkannya UU Pilkada Dinilai Memicu Potensi Konflik  

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil menilai, ada persoalan yang akan terjadi seusai DPR mengesahkan UU Pilkada.


Undang-Undang Pilkada Akhirnya Disahkan, Ini Reaksi PKS  

2 Juni 2016

Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI Jazuli Juwaini bersiap memimpin Rapat Pleno Fraksi PKS di Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, 11 April 2016. TEMPO/Dhemas Reviyanto
Undang-Undang Pilkada Akhirnya Disahkan, Ini Reaksi PKS  

PKS sebelumnya menilai anggota DPR yang maju ke pilkada tak perlu mundur dari keanggotaan di Dewan, melainkan hanya perlu cuti.


DPR Sahkan Undang-Undang Pilkada

2 Juni 2016

Ilustrasi Rapat Paripurna di Gedung DPR, Jakarta. Tempo/Tony Hartawan
DPR Sahkan Undang-Undang Pilkada

DPR akhirnya mengesahkan undang-undang tentang pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota dalam sidang paripurna hari ini.