Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Taj Mahal

Oleh

image-gnews
Iklan
Saya melihat Taj Mahal buat pertama kalinya: pualam putih, kubah bagaikan sebutir bawang besar dari surga, menara-menara langsing, dan simetri. Kecantikan itu mungkin mengagumkan, tapi ia tak menggetarkan hati. Ada sesuatu yang dingin pada mausoleum ini. Dingin seperti marmer, dingin seperti kamar yang steril, dingin seperti ruang yang antiwaktu: sebuah kerapian mutlak yang tak hendak tersentuh debu dari Agra, tak mau terkait dengan apa yang bergerak, yang ribut. Saya bertanya dalam hati, bagaimana itu mungkin. Setiap brosur pariwisata menceritakan bahwa di kemegahan inilah Syah Jehan mengenang istrinya yang wafat, dan membangun sebuah lambang cinta yang dalam. Tapi di manakah perasaan itu bergetar di Taj Mahal? Di antara kaligrafi ayat Quran yang elok berbaris di pintu dan dinding? Di ragam daun yang renik? Di relief kembang lembut yang bertatahkan safir, giok, dan rubi di tembok marmer? Kenapa puisi itu pucat dan gelora tak terasa? Apakah ini gerangan: pernyataan cinta yang membebaskan, ataukah ekspresi cinta yang ingin mengungkung? Pemujaan, atau pemenjaraan? Tapi ini sebuah makam, pemandu turis itu akan berkata. Makam adalah sebuah tempat untuk mereka yang tak lagi berjantung: jauh di bawah sana yang tak terkena matahari, si mati sudah jadi satu suhu dengan tanah. Dan ingat, Taj Mahal adalah sebuah monumen, dan setiap monumen mengatakan "tidak" kepada gerak, sebab gerak adalah waktu, dan waktu membawa lupa. Sebuah monumen menampik lupa, saudara-saudara! Bahkan ini, jangan lupa, sebuah mausoleum. Jika tuan pernah melihat apa yang mereka dirikan di Beijing, di salah satu sisi Tian An Men, untuk Ketua Mao, tuan akan tahu mengapa sebuah mausoleum terasa begitu beku, begitu kaku: ia ingin berada luhur di atas sejarah. Jauh dari keseharian, mausoleum adalah sebuah bangunan yang seakan-akan menghentikan Maut, dan bersama dengan itu, meniadakan dialektik. Ia sebuah dunia yang tanpa kontroversi, bahkan tak berlalu lintas. Di dalamnya, tiap perubahan adalah polusi. Ya, sebuah mausoleum adalah akhir dari metamorfosis: di bangunan persegi panjang di Tian An Men itu, Mao yang dulu, dengan jaket yang wagu dan sepatu yang buruk bentuk, mengguncang dunia melalui sebuah revolusi orang-orang udik, kini telah jadi seorang tuhan yang necisatau jadi bagian pokok sebuah gedung yang dirancang sebuah kementerian. Jika Mao bisa disulap menjadi sosok antiwaktu, kenapa Syah Jehan, maharaja Mogul yang membangun Delhi, tak bisa melakukan hal yang sama kepada permaisurinya? Saya melihat Taj Mahal buat pertama kalinya: mungkin saya lelah. Hari panas, orang-orang tampak lusuh, juga polisi yang menjaga gerbang dengan sebuah bedil Lee Enfield tua. Sebelum masuk ke wilayah makam abad ke-17 itu, kita harus melalui Kota Agra abad ke-21: sepotong Dunia Ketiga yang terengah-engah, centang-perenang, dengan bangunan, billboard, bajaj, lalu lintas mobil, sampah, dan babi. Estetika tak pernah menentukan segala-galanya di sini, dan di mana pun, bahkan selama raja-raja Mogul menggelar kemegahan dari tepi Sungai Yamuna. Tapi mungkin setiap ruang bersama selalu disertai kontras. Di sisi sini: kesibukan dagang di mana benda-benda berpindah dan hanya singgah. Di sisi sana: sebuah konstruksi yang tak mengacuhkan dunia yang sibuk. Di sisi sini: kehidupan lugas yang bergegas. Di sisi sana apa yang konon dikatakan Tagore tentang Taj Mahal: "setetes air mata di wajah keabadian". Maka kota-kota pun mendirikan monumen, bukan sekadar gedung dan gudang, depot dan barak, bedeng dan kantor. Monumen berusaha jadi sentuhan yang menjangkau ke dalam hati, ketika bangunan-bangunan itu hanya deret yang mendatar. Henri Lefebvre, filsuf Marxis yang menulis sebuah buku yang menggugah tentang ruang, membandingkan monumen dengan bangunan sebagaimana ia membandingkan festival dengan hidup sehari-hari: yang satu menimbulkan emosi, yang lain hanya sebuah alat produksi. Tapi ia juga menunjukkan bahwa dalam tiap ruang monumental berlangsung tukar-menukar secara simbolis antara wilayah yang "religius" dan yang "politis". Ada yang "suci" dan ada yang "berwibawa" di sanasesuatu yang diniatkan bahkan oleh mausoleum Mao di Beijing, dan tak hanya Gereja Santo Petrus di Vatikan. Kewibawaan dari yang suci terus-menerus saling menunjang dengan yang suci dari kewibawaan. Di dalam proses itu, tentu ada kekuasaan yang bekerja, memisahkan yang "sakral" dari yang "profan"dan mampu membuat sepasang kasut yang kumal (milik Ho Chi-Minh misalnya) layak diletakkan di atas altar kehormatan. Dengan itu pula, apa yang dianggap tak patut akan disingkirkan. Ruang monumental menghendaki kerapian yang absolut, seperti sebuah kota yang menghalau apa yang dianggap jorok: rumah kumuh, tukang becak, pengunyah permen karet, kedai minum, poster protesyang akhirnya berarti membasmi nilai yang berbeda, tapi lemah. Saya memandang Taj Mahal buat pertama kali dan saya dengan segera bosan: arsitektur ini meminta, menuntut mutlak, simetri. Di kedua sisinya ada dua bangunan yang persis samadan yang satu tak berguna apa-apa selain jadi padanan dari yang lain. Simetri. Atau kontrol. Menolak apa yang tak terduga. Mungkin simetri itu mencoba mengejutkan mata kita, di tengah alam yang beragam bentuk, tapi ke sekitarnya yang dekat, ia meniadakan apa yang mencong, meleset. Saya memandang Taj Mahal: simetri adalah isyarat, agaknya, bahwa sang Maharaja tak berkenan dengan dunia yang mengandung kaos. Tragis, jika kita tahu apa yang terjadi setelah itu. Putranya sendiri, Aurangzeb, mengambi alih kekuasaan, membunuh saudara-saudara kandungnya, memenjarakan ayahnya, dan menghancurkan apa yang telah dibangun dalam sejarah India. Goenawan Mohamad
Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

4 hari lalu

Perwakilan dari tiga ratus guru besar, akademisi dan masyarakat sipil, Sulistyowari Iriani (kanan) dan Ubedilah Badrun memberikan keterangan pers saat menyampaikan berkas Amicus Curiae terkait kasus Perkara Nomor 1/PHPU.PRES/XXII/2024 dan Perkara Nomor 2/PHPU.PRES/XXII/2024 perihal Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2024 kepada Mahkamah Konstitusi (MK) di Gedung 2 MK, Jakarta, Kamis, 28 Maret 2024. TEMPO/Subekti
MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

Hakim MK telah memutuskan hanya 14 amicus curiae, yang dikirimkan ke MK sebelum 16 April 2024 pukul 16.00 WIB yang akan didalami di sengketa Pilpres.


Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

45 hari lalu

Film Djakarta 1966. imdb.com
Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

Peristiwa Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar disertai gelombang demo mahasiswa terekam dalam film Djakarta 66 karya Arifin C. Noer


53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

50 hari lalu

Wartawan Senior TEMPO Fikri Jufri (Kiri) bersama Kepala Pemberitaan Korporat TEMPO Toriq Hadad dan Redaktur Senior TEMPO Goenawan Mohamad dalam acara perayaan Ulang Tahun Komunitas Salihara Ke-4, Jakarta, Minggu (08/07). Komunitas Salihara adalah sebuah kantong budaya yang berkiprah sejak 8 Agustus 2008 dan pusat kesenian multidisiplin swasta pertama di Indonesia yang berlokasi di Jl. Salihara 16, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. TEMPO/Dhemas Reviyanto
53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

Majalah Tempo telah berusia 53 tahuh, pada 6 Maret 2024. Panjang sudah perjalanannya. Berikut profil para pendiri, Goenawan Mohamad (GM) dan lainnya.


53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

50 hari lalu

Goenawan Mohamad dikerumuni wartawan di depan gedung Mahkamah Agung setelah sidang gugatan TEMPO pada Juni 1996. Setelah lengsernya Soeharto pada 1998, majalah Tempo kembali terbit hingga hari ini, bahkan, saat ini Tempo sudah menginjak usianya ke-50. Dok. TEMPO/Rully Kesuma
53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

Hari ini, Majalah Tempo rayakan hari jadinya ke-53. Setidaknya tercatat mengalami dua kali pembredelan pada masa Orde Baru.


Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

9 Februari 2024

Sastrawan Goenawan Mohamad dalam acara peluncuran buku
Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

Pendiri Majalah Tempo Goenawan Mohamad atau GM menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi saat ini seolah pemerintahan Orde Baru.


Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

9 Februari 2024

Sastrawan Goenawan Mohamad dalam acara peluncuran buku
Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

Budayawan Goenawan Mohamad bilang ia tak jadi golput, apa alasannya? "Tanah Air sedang menghadapi kezaliman yang sistematis dan terstruktur," katanya.


ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

2 Februari 2024

Pengunjung melihat karya-karya Goenawan Mohamad dalam pameran tunggalnya di Lawangwangi Creative Space bertajuk Sejauh Ini... di Bandung, Jawa Barat, 2 Februari 2024. Sastrawan, budayawan, sekaligus pendiri Majalah Tempo ini memamerkan lebih dari 100 karya seni rupa yang dibuat sejak tahun 2016 sampai 2024. TEMPo/Prima mulia
ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

Karya Goenawan Mohamad yang ditampilkan berupa sketsa drawing atau gambar, seni grafis, lukisan, artist book, dan obyek wayang produksi 2016-2024.


Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

27 November 2023

Ilustrasi Pemilu. ANTARA
Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

Forum Lintas Generasi meminta masyarakat bersuara jujur dan jernih dalam Pemilu 2024.


Ratusan Tokoh Deklarasikan Gerakan Masyarakat untuk Kawal Pemilu 2024: Dari Goenawan Mohamad hingga Ketua BEM UI

21 November 2023

Sejumlah orang dari berbagai latar belakang mendeklarasikan gerakan masyarakat untuk mengawasi Pemilu 2024. Gerakan yang dinamai JagaPemilu itu diumumkan di Hotel JS Luwansa, Jakarta Pusat pada Selasa, 21 November 2023. TEMPO/Sultan Abdurrahman
Ratusan Tokoh Deklarasikan Gerakan Masyarakat untuk Kawal Pemilu 2024: Dari Goenawan Mohamad hingga Ketua BEM UI

Gerakan tersebut diawali dari kepedulian sekelompok orang yang tidak berpartai dan independen terhadap perhelatan Pemilu 2024.


Fakta-fakta Para Tokoh Bangsa Temui Gus Mus Soal Mahkamah Konstitusi

14 November 2023

Gedung Mahkamah Konstitusi. TEMPO/MAGANG/MUHAMMAD FAHRUR ROZI.
Fakta-fakta Para Tokoh Bangsa Temui Gus Mus Soal Mahkamah Konstitusi

Aliansi yang tergabung dalam Majelis Permusyawaratan Rembang itu menyampaikan keprihatinan mereka ihwal merosotnya Mahkamah Konstitusi atau MK.