Teknik-teknik pemberantasan korupsi tampaknya perlu segera diubah total. Model yang selama ini dipakai terbukti sudah tidak cespleng. Koruptor lama tak kunjung kapok, koruptor baru pun terus bermunculan seperti jamur di musim hujan. Tak mengherankan bila cap bahwa Indonesia adalah surga koruptor masih melekat.
Dalam laporan Transparency International, indeks persepsi korupsi (corruption perception index/CPI) terbaru secara jelas menunjukkan hal itu. Dua tahun berturut-turut, skor indeks persepsi korupsi untuk Indonesia adalah 32. Sudah banyak pembobol duit negara yang dijebloskan ke penjara, tapi maksiat korupsi jalan terus.
Baca Juga:
Secara peringkat, indeks persepsi korupsi di Indonesia memang mengalami kenaikan tipis. Di antara 177 negara yang disurvei, peringkat Indonesia ada pada urutan ke-114. Tahun lalu ada pada peringkat ke-188. Namun kenaikan peringkat ini tidak bisa disebut sebagai prestasi. Bila dibandingkan dengan negara lain, program pemberantasan korupsi Indonesia masih kedodoran dan jauh tertinggal. Di lingkup Asia Tenggara saja, kita kalah oleh Singapura, Malaysia, Brunei, Filipina, dan Thailand. Menempati angka 32, posisi Indonesia sama dengan Mesir, sedikit lebih baik daripada Albania (31), Nepal (31), dan Vietnam (31).
Yang memprihatinkan lagi, rupanya para pejabat kita apatis terhadap laporan seperti indeks korupsi. Meski skor jeblok, tak ada rasa bersalah, apalagi berupaya memperbaikinya. Sungguh berbeda sikap pemerintah Indonesia dengan Australia. Meski Negeri Kanguru itu tetap berada pada urutan 10 besar sebagai negara yang bersih dari korupsi, pemerintah Australia meratapi karena skornya turun empat poin dibanding tahun lalu.
Di Indonesia, program antirasuah sepertinya hanya serius dijalankan oleh satu institusi saja, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi. Lembaga negara terkesan setengah hati menjalankannya. Banyak pejabat negara yang bersekongkol dengan petinggi partai atau anggota Dewan Perwakilan Rakyat untuk mengegolkan sebuah anggaran. Tak sedikit pula instansi tertentu menjadi sapi perahan para petinggi partai.
Sistem pemilihan calon legislator dan kepala daerah yang menguras banyak uang juga memperparah infeksi korupsi di negeri ini. Saat ini sudah ada 311 kepala daerah yang terseret masuk pusaran korupsi, baik sebagai tersangka maupun terpidana. Untuk terpilih menjadi kepala daerah, contohnya, mereka butuh dana belasan sampai puluhan miliar rupiah. Padahal gaji resmi bupati di beberapa daerah cuma Rp 6,2 juta per bulan. Bila ditambah tunjangan lain-lain, bisa menjadi sekitar Rp 60 juta sebulan. Jika dia menjabat selama lima tahun, pendapatannya hanya Rp 3,6 miliar. Bagaimana gaji sebesar itu bisa menutup biaya kampanye yang belasan miliar bila tak korupsi?
Harus ada komitmen untuk memutus mata rantai korupsi di kalangan politikus. Usulan mengubah sistem pemilihan langsung atau negara menanggung biaya kampanye lewat televisi atau radio patut dikaji. Sebab, jika hal itu terus dibiarkan, praktek korupsi akan terus beranak-pinak. Koruptor-koruptor muda akan bermunculan dan merontokkan negeri ini.