Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Tempurung

Oleh

image-gnews
Iklan
Sebuah konstitusi adalah sebuah perjalanan bahasa. Di kompleks bangunan Parlemen, pertengahan Agustus 2002, ketika para legislator tengah menyusun sebuah konstitusi baru, apa yang secara ingar datang dan pergi? Anda bisa menjawab, bagaikan Pangeran Hamlet: "Kata-kata, kata-kata, kata-kata?." Di halaman, para demonstran melontarkan yel. Kemarin sejumlah orang membawa statemen. Di majelis itu sendiri, para anggota saling membujuk, meyakinkan, mungkin berbohong, mungkin menggertak, mungkin mendengarkan pekik demonstran, pendapat pakar, dan keluh si lemah. Kamera berkali-kali menjepret, pentungan polisi kadang-kadang dipukulkan, dan kanon air disemburkan, tapi selebihnya, pada hari-hari itu, 90 persen dari bunyi adalah kebisingan lautan verbal. Kata-kata, bagaikan gelombang, bergulung, berkejar-kejaran, pecah, terempas dan kembali ke tengah, ke kancah. Kemudian lahirlah undang-undang. Akar kata dalam bahasa Indonesia untuk istilah itu menunjukkan bahwa "undang-undang" tak persis sama dengan "hukum". Kata "hukum" mengacu ke sesuatu yang pasti dan bebas dari ruang & waktu tertentu, dan sebab itu bisa dipakai di dalam ilmu alam ("hukum Archimedes", misalnya). "Undang-undang" menyarankan sesuatu yang lain: kata "undang" terdapat juga dalam "undangan"; kata "diundangkan" berarti juga "dijadikan sesuatu yang publik". Dengan demikian, "undang-undang" mengasumsikan adanya komunikasi, adanya orang lain, dan dalam proses itu, bahasa adalah unsur yang tak bisa dilepaskan. Dari bahasa kita sebenarnya tak bisa mengharapkan sesuatu yang tetap, selamanya identik, selamanya klop, dengan apa yang aku, sang pemakai, maksudkan. Sejak zaman pepatah Melayu dan era filsafat Hegel sudah ditunjukkan bahwa bahasa adalah salah satu kasus Entfremdung atau "jadi-asing"-nya manusia dari buah kerjanya sendiri. Kata yang aku ujarkan pada akhirnya membentuk sebuah wilayah yang terpisah dari aku yang memaksudkannya. Bahkan terkadang kataku membahayakan diriku. Sebab itu pula, melalui bahasa, tak seorang pun bisa mengharapkan kesepakatan penuh, apalagi buat selama-lamanya. Itulah sebabnya percakapan, kesalahpahaman, ikhtiar bersetuju, berlangsung terus-menerus. Undang-undang menempuhnya. Di satu tahap sebuah konvensi akan tercapai, dengan pengaruh waktu dan tempat tertentu. Tapi konvensi adalah sesuatu yang diterima dengan toleransi, tanpa dengan sendirinya dianggap sebuah aturan yang disetujui siapa saja. Maka, setelah undang-undang lahir, tak semua akan tertib dalam kesepakatan. Sebuah konstitusi adalah sebuah perjalanan dengan dan juga dalam kata-kata. Perjalanan itu tak akan berhenti bahkan setelah rancangan diterima. Tawar-menawar, tukar-menukar keuntungan, penggunaan kekuasaan, di samping kearifan, akan selamanya berperan. Dalam sejarah manusia, tak ada undang-undang, juga undang-undang dasar, yang hidup dan berjalan di luar proses politik itu. Kita tahu proses itu ibarat pematang yang genting: berlumpur, tak bersih, licin. Apalagi di dalam sebuah demokrasi. Lebih gampang menghasilkan hukum fisika di sebuah laboratorium: di keheningan itu, yang dihadapi adalah sehimpun benda yang tanpa kata. Lebih mudah seandainya undang-undang disusun oleh satu orang dan ditawarkan kepada orang yang sama. Tapi kapan hal itu pernah terjadi? Politik bukanlah mencium bibir sendiri di depan cermin. Memang terkadang terbit sebuah angan-angan luhur, terutama jika kita sekelompok katak dan kecebong yang luhur tapi dengan keluhuran itu hidup di bawah sebuah tempurung: kita biasa bergaul di lingkungan kecil, dan tak kenal betul dunia di luar tempurung kita, yang mungkin tak seburuk (atau tak sebaik) yang kita duga. Dalam tempurung sendiri kita memang bisa membentuk sebuah komite yang akan menyusun sebuah hukum untuk menyelamatkan dunia. Kalau kita orang "fundamentalis", kita akan menyebutnya "hukum Tuhan", dan kalau kita "humanis", kita akan menamakannya "hukum para pakar piawai dan empu yang bijaksana". Dengan itu hukum kita bayangkan bisa lahir di atas proses politik. Namun kemudian kita datangi berpuluh-puluh katak lain dalam berpuluh-puluh tempurung lain, dan kita pun kecewa dan marah, karena kita ternyata telah mengundang sebuah kemungkinan yang pahit: kemungkinan untuk diabaikan. Tapi, apa boleh buat, kita hadir dalam bahasa, sesuatu yang tak sepenuhnya kita tentukan sendiri maknanya. Kita hidup bukan dalam etos aristokrasi. Demokrasi mungkin membuat kita jengkel, karena ternyata telah memunculkan sejumlah orang yang kita anggap kotor dan menyebalkan namun dipilih rakyat. Tapi bukankah sebuah demokrasi adalah bentuk kerendahan hati, yang mengakui jangan-jangan kita juga kotor dan menyebalkan di mata orang lain, dan kita juga datang dari sebuah tempurung?juga bila kita pakar yang piawai dan ayatullah yang alim? Maka sebuah legislasi yang baik membuat hukum sebagai undang-undang, bukan sebagai kesimpulan Archimedes. Dengan kata lain, sebuah perjalanan bahasa, dengan segala ketidakpastiannya, yang ingin sempurna tapi tak pernah sampai, dan sebab itu membuka diri untuk disempurnakan. Sebuah legislasi yang baik adalah perdebatan yang mengakui bahwa dalam keterbatasan masing-masing, justru ada hal dasar yang amat bernilai: kemerdekaan berpikir dan berbicara, suara yang tak boleh didiskriminasi karena perbedaan ras, suku, agama, jenis, kelas?. Konstitusi tahun 2002 mengukuhkan hal yang amat bernilai itu. Sesuatu yang bersejarah, namun sesuatu yang lumrah: pada bulan Agustus itu tampak bahwa para wakil rakyat bukan wakil Tuhan, bukan wakil Setan. Goenawan Mohamad
Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Bedah Buku Karya KSAL, Bamsoet Tegaskan Dukung Peningkatan Alutsista

4 hari lalu

Bedah Buku Karya KSAL, Bamsoet Tegaskan Dukung Peningkatan Alutsista

Peningkatan Alutsista sangat diperlukan seturut posisi Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia.


Ketua MPR Tegaskan Indonesia Terus Dukung Kemerdekaan Palestina

25 hari lalu

Ketua MPR Tegaskan Indonesia Terus Dukung Kemerdekaan Palestina

Dukungan Indonesia kembali dinyatakan saat menerima rombongan imam Palestina.


Bamsoet Dukung Glenn Nirwana Berlaga di Touring Car Series Australia

46 hari lalu

Bamsoet Dukung Glenn Nirwana Berlaga di Touring Car Series Australia

Glenn menjadi satu-satunya wakil dari Indonesia, bahkan Asia, yang berpartisipasi di TCR.


Bamsoet Apresiasi Penampilan Ed Sheeran di Jakarta

54 hari lalu

Bamsoet Apresiasi Penampilan Ed Sheeran di Jakarta

Konser bertema +-= Tour' (dibaca Mathematics Tour) yang disaksikan puluhan ribu penonton ini menjadi konser kedua Ed Sheeran di Jakarta


Basarah Sebut Hak Angket dan Gugatan MK untuk Kepastian Hukum

56 hari lalu

Basarah Sebut Hak Angket dan Gugatan MK untuk Kepastian Hukum

Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah, mengatakan, wacana hak angket yang tengah digulirkan anggota DPR, termasuk gugatan atas dugaan kecurangan Pemilu Presiden 2024 yang tersuktur, sistematis dan masif (TSM) ke Mahkamah Konstitusi untuk memberikan kepastian politik dan hukum.


Bamsoet Ajak Persaudaraan Muslimin Indonesia Kritis dan Visioner

11 Februari 2024

Bamsoet Ajak Persaudaraan Muslimin Indonesia Kritis dan Visioner

Narasi tentang karakteristik pemuda Islam yang ideal, juga banyak ditemukan rujukannya dalam ajaran Islam.


Kulineran di Purbalingga, Bamsoet Ajak Nikmati Minggu Tenang dengan Sukacita

11 Februari 2024

Kulineran di Purbalingga, Bamsoet Ajak Nikmati Minggu Tenang dengan Sukacita

Kopi Bathok menawarkan garang asam hingga tempe kecambah hitam. Harganya sangat terjangkau dan ramah dikantong, tanpa mengurangi kenikmatan sajian kulinernya.


Catatan Ketua MPR RI: Kuasa Rakyat Memilih dan Menyerahkan Mandat

11 Februari 2024

Catatan Ketua MPR RI: Kuasa Rakyat Memilih dan Menyerahkan Mandat

Pelaksanaan pemungutan suara dalam momentum Pemilu tahun 2024 hingga proses pengumpulan dan penghitungan suara, hendaknya berjalan dengan aman dan lancar, damai, jujur serta bermartabat.


Bamsoet Harap UMK Purbalingga Cepat Naik

7 Februari 2024

Ketua MPR RI Bambang Soesatyo
Bamsoet Harap UMK Purbalingga Cepat Naik

Situasi menjelang pemilu turut mempengaruhi persentase kenaikan umah minimum kabupaten/kota.


Catatan Ketua MPR tentang Bonus Demografi

1 Februari 2024

Ketua MPR Bambang Soesatyo.
Catatan Ketua MPR tentang Bonus Demografi

Pemerintah harus mempercepat penyediaan infrastruktur digital hingga ke pelosok dan menyiapkan angkatan kerja yang melek digital.