Kasus Gubernur Banten Atut Chosiyah dan Bupati Gunung Mas terpilih, Hambit Bintih, menunjukkan lemahnya aturan mengenai kepala daerah. Keduanya telah ditetapkan sebagai tersangka suap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, tapi posisi mereka masih kuat. Atut, misalnya, belum bisa dinonaktifkan.
Rencana Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi atas Hambit lebih aneh lagi. Hambit, yang terlibat kasus suap Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar, kini berada di tahanan. Tapi Gamawan mempersilakan Gubernur Kalimantan Tengah menahbiskannya menjadi Bupati Gunung Mas. Artinya, Hambit bersama pasangannya akan dilantik di penjara.
Hambit, yang telah cacat karena menyuap, tidak selayaknya dilantik menjadi bupati. Masalahnya, Undang-Undang Pemerintahan Daerah memberi kelonggaran kepada kepala daerah yang jadi tersangka. Kepala daerah baru bisa dinonaktifkan bila menjadi terdakwa dan baru diberhentikan permanen bila putusannya telah berkekuatan hukum tetap.
Prinsip itu tampaknya diadopsi pula dalam kasus Hambit. Bupati terpilih ini masih bisa dilantik karena baru berstatus tersangka. Pilihan lainnya tentu mengadakan pemilihan ulang atau melantik pemenang kedua. Ini pun akan mengundang perdebatan lantaran Hambit belum dinyatakan bersalah dan belum mendapat vonis yang berkekuatan hukum tetap.
Aturan yang longgar itu pula yang menimbulkan masalah bagi Provinsi Banten. Atut Chosiyah, yang juga terlibat kasus suap Akil Mochtar, tak bisa dinonaktifkan kendati sudah ditahan. Atut baru bisa diberhentikan sementara bila sudah berstatus terdakwa. Ini jelas membuat roda pemerintahan Banten terganggu. Wakil Gubernur tidak bisa mengambil alih kekuasaan selama Gubernur Atut belum diberhentikan.
Idealnya, Atut mengundurkan diri. Cara ini lebih elegan ketimbang membiarkan proses pengalihan kekuasaan bertele-tele. Betapa lama bila pengalihan kekuasaan secara permanen baru bisa dilakukan ketika Atut telah diberhentikan secara tetap. Hal ini hanya merugikan rakyat karena kebijakan penting pemerintahan akan tertunda.
Itulah perlunya merevisi aturan mengenai kepala daerah dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah. Tidak selayaknya kepala daerah yang sudah menjadi tersangka dibiarkan tetap memimpin. Jika ia tak mengundurkan diri, semestinya Dewan Perwakilan Rakyat Daerah diberi wewenang mencabut kekuasaannya.
Aturan mengenai kepala daerah terpilih pun semestinya diubah. Seorang tersangka tak layak dilantik. Jika perlu, dilakukan pemilihan ulang. Asas praduga tak bersalah penting bagi siapa pun, termasuk kepala daerah terpilih. Masalahnya, bila belum menjabat saja sudah tercela, tidak pantas ia dilantik dan resmi menjadi kepala daerah kendati nanti akan diberhentikan lagi.
Kasus Atut dan Hambit tidak akan terjadi bila kita lebih ketat mengatur kepala daerah atau calon kepala daerah yang menjadi tersangka.