Ancaman perusahaan-perusahaan tambang untuk memecat puluhan ribu karyawannya tidak perlu membuat pemerintah gentar. Larangan mengekspor bijih tambang mentah harus tetap diberlakukan pada 12 Januari 2014. Hal itu merupakan amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba) yang tak boleh ditawar.
Tuntutan perusahaan tambang, termasuk perusahaan multinasional seperti Newmont dan Freeport, untuk menunda pemberlakuan aturan itu tak masuk akal. Mereka sudah diberi waktu lima tahun untuk membangun smelter, atau pengolah bahan mentah, sebelum undang-undang ini diberlakukan. Namun, kenyataannya, kesempatan itu tidak dimanfaatkan. Saat ini baru dibangun 12 mesin pengolah hasil tambang dengan kapasitas hanya 30 persen dari total hasil tambang nasional.
Selama ini Indonesia banyak dirugikan oleh kebijakan lama. Ribuan ton bahan tambang diekspor dengan harga sangat murah. Cara itu tak menghasilkan multiplier effect yang besar. Tenaga kerja yang diserap sedikit, dan tak banyak mendatangkan penerimaan negara. Inilah yang ingin dikoreksi.
Sayangnya, belakangan, pemerintah terkesan tak bernyali menghadapi tekanan pengusaha tambang. Keraguan itu terlihat ketika tiba-tiba Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik mengatakan akan membolehkan ekspor mineral mentah bagi perusahaan tambang yang memiliki mesin pengolah bijih mineral atau smelter. Keistimewaan ini bisa berbahaya karena bisa disalahgunakan, seperti jual-beli izin ekspor.
Pemerintah seharusnya kukuh menerapkan amanat undang-undang. Memang ada risikonya. Misalnya, dalam waktu pendek bakal ada kehilangan pendapatan akibat larangan ekspor ini. Perusahaan-perusahaan tambang Indonesia mengklaim pemerintah bisa kehilangan pemasukan sampai US$ 4 miliar (Rp 50 triliun) per tahun akibat larangan ekspor ini.
Pemerintah seharusnya tak keder menghadapi ancaman itu. Potensi hilangnya pendapatan itu hanya sementara. Kita pernah mengalami hal serupa ketika pemerintah Soeharto melarang ekspor kayu gelondongan pada 1980-an. Sebelum ketentuan itu berlaku, hanya ada dua industri kayu lapis. Namun jumlahnya tumbuh menjadi 100 pabrik pengolah kayu ketika larangan diberlakukan. Tenaga kerja yang diserap lebih banyak, dan pemasukan negara juga bertambah.
Yang mesti dilakukan pemerintah sekarang adalah mendorong para pelaku industri tambang untuk segera membangun mesin pengolah. Banyak hal yang bisa dilakukan, seperti menyediakan infrastruktur berupa ketersediaan listrik, menyederhanakan prosedur izin, sampai memastikan bahwa harga tanah tempat bakal dibangunnya smelter tidak dipermainkan para calo.
Larangan ekspor hasil tambang mentah ini ibarat obat: bakal pahit untuk sementara waktu, tapi cespleng. Pemerintah harus berani berkorban dalam satu-dua tahun. Setelah itu, pendapatan justru meningkat berkali lipat karena multiplier effect dari pengolahan bahan tambang. Memang bukan langkah populer, apalagi menjelang pemilihan umum. Tapi kita tak punya pilihan selain menjalankan amanat undang-undang dan konstitusi.