Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Ambivalensi Demokrat

image-profil

image-gnews
Iklan

TEMPO.CO, Jakarta - Arya Budi, Peneliti Poltracking Institute

Hasil Rapat Paripurna DPR RI pada 26 September 2014 pada dasarnya mengkonfirmasikan dua nalar penting representasi politik: populisme dan elitisme. Koalisi Merah Putih (KMP), yang terdiri atas Partai Gerakan Indonesia Raya, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat Nasional, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Golongan Karya, berada dalam garis elitisme dengan mendukung pemilihan kepala daerah oleh DPRD. Sementara itu, koalisi partai yang tergabung dalam pencalonan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Hati Nurani Rakyat) berada pada posisi politik populisme.

Tentu, dasar pilihan semua fraksi adalah kepentingan politik. Populisme tidak semata bermakna pembelaan terhadap kepentingan rakyat. Debat mekanisme pemilihan kepala daerah dalam Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah adalah persoalan populisme (kepala daerah dipilih langsung oleh publik-pemilih) dan elitisme (menyerahkan atau mengembalikan pemilihan kepala daerah dipilih langsung oleh DPRD alias elite partai).

Bagi partai-partai yang tergabung dalam KMP, memenangkan opsi kepala daerah dipilih DPRD dengan hasil voting 226 suara adalah titik awal memasang jangkar politik elektoral dari level pusat melalui penguasaan kursi parlemen sampai level daerah lewat penguasaan kursi legislatif sekaligus eksekutif. Tentu, output-nya adalah 2019.

Bagi partai-partai pendukung pemerintah Jokowi-Kalla, kalahnya opsi kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat dengan hasil voting hanya 135 suara berarti lonceng peringatan untuk bersiap dengan inefektivitas pemerintah akibat manuver politik dari level pusat hingga daerah. Tentu, cerita akan berubah jika gugatan terhadap hasil rapat final pembahasan RUU Pilkada ini dikabulkan Mahkamah Konstitusi.

Dalam konfrontasi politik inilah panggung paripurna bagi DPR periode 2014-2019 mempertontonkan ambivalensi Partai Demokrat yang sebenarnya berkekuatan 129 suara dari 148 anggota. Sikap politik Demokrat terlihat "tak berjenis kelamin". Media massa, baik elektronik, online, maupun cetak, sudah merekam drama dan kronologi politik sidang paripurna RUU Pilkada yang digelar seharian.

Sikap ambivalen Demokrat ditunjukkan oleh dua drama politik. Pertama, Demokrat semula berada dalam satu barisan dengan partai anggota KMP yang lantang mendukung pemilihan kepala daerah oleh DPRD melalui fraksinya di DPR sejak isu ini diputar oleh para elite KMP. Namun Demokrat mengubah sikap seusai pemutaran video Susilo Bambang Yudhoyono yang memperlihatkan dukungannya terhadap pilkada langsung, yang kemudian disusul dengan pilkada langsung "bersyarat".

Kedua, sepanjang rapat paripurna, Demokrat memperjuangkan opsi ketiga, yakni pilkada langsung dengan sepuluh syarat. Namun, ketika partai pengusung Jokowi-Kalla telihat "mengalah" dengan mendukung usul Demokrat itu dan pimpinan sidang di bawah Priyo Budi Santoso (Golkar) mencabut keputusan dua opsi, Fraksi Demokrat membacakan sikap untuk netral diikuti walk-out.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ambivalensi Demokrat inilah yang barangkali disebut Erving Goffman (1959) sebagai dramaturgi: merintih di depan panggung paripurna, tetapi sebenarnya tertawa riang di belakang panggung. Prasangka politik bisa saja muncul. Pertama, pimpinan sidang adalah elite Golkar yang bisa memainkan palu secara ritmis: memutuskan dua opsi (pilkada langsung dan pilkada oleh DPRD), dan lalu mencabutnya sebagai pembenar bahwa usul Demokrat tak diakomodasi.

Atau prasangka kedua, yakni Demokrat bukan aktor tunggal ketika kursi rapat paripurna berada di bawah kendali Ketua Fraksi Demokrat yang sejak awal berpolemik dengan perubahan sikap DPP Demokrat dalam soal dukungan terhadap pilkada langsung. Ketiga, terlepas dari pernyataan "kecewa" SBY setelah mengetahui kronologi rapat paripurna yang sesungguhnya, sikap Demokrat menunjukkan karakter kepemimpinan SBY yang bipolar.

Bagaimanapun, walau ada enam anggotanya yang bertahan dan memilih pilkada langsung, Demokrat perlu dilihat sebagai entitas tunggal. Seluruh fungsionaris Demokrat meletakkan legitimasi politiknya pada figur SBY yang secara struktural adalah Ketua Umum, Ketua Dewan Pembina, sekaligus Ketua Majelis Tinggi Demokrat, plus Presiden RI yang mempunyai kontrol dan akses atas alat dan sumber daya negara. Nasib demokrasi lokal yang sebenarnya dalam kontestasi rapat paripurna 26 September terletak di tangan Demokrat-di bawah kendali SBY-akhirnya terpasung.

Padahal, secara politik, sidang kemarin adalah the last minute bagi Demokrat untuk menggunakan kekuatan politiknya di parlemen dengan 148 kursi sebelum kursinya menyusut dua kali lipat menjadi 61 kursi setelah pelantikan anggota Dewan baru pada 1 Oktober 2014. Dominasi Demokrat dan kepemimpinan SBY menemukan antiklimaks di penghujung periode, baik eksekutif maupun legislatif.

Drama sidang paripurna RUU Pilkada mengingatkan saya pada tesis Joseph Schumpeter (1961) bahwa democracy is a competition among elites. Demokrasi lokal menjadi 'untuk, oleh, dan dari elite'. Partai dan elite di dalamnya bekerja dengan nalarnya sendiri. Representasi adalah narasi kosong yang kadang terkesan utopis. Dan rakyat akan mengingatnya, walau sekejap saja.


Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Mendekati Pilkada 2024, Begini Riuh Kandidat Kuat Sejumlah Parpol

1 hari lalu

Mantan Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi (tengah) menyapa warga saat acara perpisahan akhir masa jabatan di Kantor Gubernur Sumatera Utara, Medan, Selasa 5 September 2023. Acara serah terima jabatan dan perpisahan Gubernur Sumut tersebut dihadiri sejumlah anggota DPRD, simpatisan dan ribuan warga dari berbagai komunitas sebagai bentuk ucapan terimakasih atas pengabdian selama periode 2018-2023. ANTARA FOTO/Fransisco Carolio
Mendekati Pilkada 2024, Begini Riuh Kandidat Kuat Sejumlah Parpol

Mendekati Pilkada 2024, partai-partai politik mulai menyiapkan kandidat yang akan diusung. Beberapa nama telah diisukan akan maju dalam pilkgub.


Bamsoet Ingatkan Pentingnya Pembenahan Partai Politik

26 hari lalu

Bamsoet Ingatkan Pentingnya Pembenahan Partai Politik

Partai politik memegang peran penting dalam menentukan arah kebijakan negara.


Pilihan Amerika Serikat Hanya Punya 2 Partai Politik, Ini Penjelasannya

27 hari lalu

Joe Biden dan Donald Trump dalam debat kandidat Presiden AS, 23 Oktober 2020.  REUTERS/Jim Bourg/Pool
Pilihan Amerika Serikat Hanya Punya 2 Partai Politik, Ini Penjelasannya

Amerika Serikat sebagai negara demokrasi terbesar di dunia memilih dominasi hanya dua partai politik yaiutu Partai Republik dan Partai Demokrat.


Prabowo Dinilai Butuh Koalisi Raksasa Usai Penetapan Pemilu 2024, Berikut Jenis-jenis Koalisi

32 hari lalu

Calon Presiden nomor urut 2, Prabowo Subianto menyampaikan pidato seusai penetapan sebagai pemenang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Kertanegara, Jakarta, Rabu, 20 Maret 2024. KPU menetapkan pasangan nomor urut 2 Prabowo Subianto - Gibran Rakabuming Raka sebagai pemenang Pemilu 2024. TEMPO/M Taufan Rengganis
Prabowo Dinilai Butuh Koalisi Raksasa Usai Penetapan Pemilu 2024, Berikut Jenis-jenis Koalisi

LSI Denny JA menyatakan Prabowo-Gibran membutuhkan koalisi semipermanen, apa maksudnya? Berikut beberapa jenis koalisi.


8 Parpol ke Senayan Penuhi Parliamentary Threshold di Pemilu 2024, Apa Bedanya dengan Presidential Threshold?

34 hari lalu

Ilustrasi Rapat DPR. TEMPO/M Taufan Rengganis
8 Parpol ke Senayan Penuhi Parliamentary Threshold di Pemilu 2024, Apa Bedanya dengan Presidential Threshold?

PDIP, Golkar, Gerindra, PKB, NasDem, PKS, Demokrat, dan PAN penuhi parliamentary threshold di Pemilu 2024. Apa bedanya dengan Presidential Threshold?


Daftar 8 Parpol yang Lolos ke DPR di Pemilu 2024, 10 Lainnya Gagal ke Senayan

35 hari lalu

Ketua KPU Hasyim Asy'ari dan para jajaran menunjukkan berita acara saat membacakan pemenang Pemilu 2024 di Gedung KPU, Menteng, Jakarta, Rabu, 20 Maret 2024. KPU mengumumkan pasangan Capres-Cawapres nomor urut 2 Prabowo-Gibran memenangkan Pilpres 2024 dengan jumlah 96.214.691 suara, sementara pasangan nomor urut 1 Anies-Cak Imin mendapat 40.971.906 suara dan Pasangan nomor urut 3 Ganjar-Mahfud 27.040.878. TEMPO/Febri Angga Palguna
Daftar 8 Parpol yang Lolos ke DPR di Pemilu 2024, 10 Lainnya Gagal ke Senayan

Hasil akhir rekapitulasi suara KPU menyebutkan 8 parpol lolos ke Senayan. Sementara 10 parpol lainnya gagal ke DPR di Pemilu 2024. Berikut daftarnya.


MK Tolak Gugatan Uji Materil Frasa Gabungan Partai Politik dalam UU Pemilu

36 hari lalu

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo menjawab pertanyaan awak media di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakaarta Pusat, Selasa, 19 Maret 2024. ANTARA/Nadia Putri Rahmani
MK Tolak Gugatan Uji Materil Frasa Gabungan Partai Politik dalam UU Pemilu

Hakim MK mengatakan, keberlakuan Pasal 228 UU Pemilu sesungguhnya ditujukan bagi partai politik secara umum,


MK Putuskan Gugatan Mahasiswa soal Pembubaran Partai Politik Tidak Dapat Diterima

36 hari lalu

Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), memimpin jalannya sidang dengan agenda pembacaan putusan uji formil aturan syarat usia capres dan cawapres di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa, 16 Januari 2024. MK menolak permohonan yang diajukan oleh Pakar Hukum Tata Negara Denny Indrayana dan Zainal Arifin Mochtar. MK menolak gugatan uji formil terkait putusan nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang syarat usia capres-cawapres. TEMPO / Hilman Fathurrahman W
MK Putuskan Gugatan Mahasiswa soal Pembubaran Partai Politik Tidak Dapat Diterima

Seorang mahasiswa mengajukan permohonan uji materiil Undang-undang tentang Partai Politik ke Mahkamah Konstitusi.


Jika 5 Parpol Tidak Gerakkan Hak Angket DPR, Pakar Hukum Tata Negara Sebut Ini yang Terjadi

38 hari lalu

Feri Amsari. TEMPO/M Taufan Rengganis
Jika 5 Parpol Tidak Gerakkan Hak Angket DPR, Pakar Hukum Tata Negara Sebut Ini yang Terjadi

Pakar hukum tata negara Feri Amsari melihat belum ada gerakan signifikan dari 5 parpol untuk gerakkan hak angket indikasi kecurangan Pemilu 2024.


Apa Kabar Hak Angket Pemilu 2024? Adnan Topan Husodo: Bisa Masuk Angin Jika Ada Parpol Tersandera Politik dan Hukum

42 hari lalu

Adnan Topan Husodo. linkedln.com
Apa Kabar Hak Angket Pemilu 2024? Adnan Topan Husodo: Bisa Masuk Angin Jika Ada Parpol Tersandera Politik dan Hukum

Dorongan parpol lakukan hak angket didukung setidaknya 50 tokoh belum lama ini. Adnan Topan Husodo mewaspadai beberapa hal yang bisa gagalkan ini.