Pemerintah tidak boleh tutup mata terhadap maraknya peredaran minuman keras oplosan. Tiap tahun jatuh banyak korban. Pekan lalu, misalnya, 17 orang di Mojokerto tewas akibat menenggak minuman keras oplosan yang biasa disebut cukrik.
Insiden seperti ini bukan hal baru. Kematian akibat minuman keras oplosan terjadi di berbagai penjuru Nusantara. September lalu, 14 orang tewas karena oplosan di Surabaya. Di Jakarta, minuman ini juga menewaskan enam orang pada Oktober. Di wilayah Sulawesi, misalnya, juga kerap jatuh korban akibat minuman oplosan yang disebut "racun tikus".
Dampak buruk minuman keras oplosan ini sampai mendapat perhatian negeri tetangga. Awal tahun lalu, Menteri Luar Negeri Australia Bob Carr mendesak pemerintah Indonesia untuk melakukan pengawasan terhadap minuman oplosan ini.
Bob Carr angkat suara setelah warga Australia, Liam Davies, 19 tahun, tewas sehabis menenggak minuman oplosan saat merayakan tahun baru di Pantai Gili, Lombok. Sepanjang 2009 sampai 2013, sedikitnya ada 21 wisatawan asing yang tewas karena minuman keras oplosan itu. Sampai-sampai Australia mengeluarkan peringatan khusus bagi warganya yang melancong ke Indonesia.
Pemerintah Australia pantas cemas oleh insiden itu. Soalnya, industri minuman keras oplosan sangat menjamur di berbagai pelosok Indonesia. Demi menghasilkan minuman keras dengan efek mabuk yang kuat tapi dengan harga miring, para pembuat oplosan itu mencampurkan beberapa bahan berbahaya, seperti spiritus, alkohol 90 persen, atau bahan kimia berbahaya lainnya.
Pemerintah terkesan membiarkan hal ini terjadi, bahkan kerap saling lempar tanggung jawab di antara instansi-instansi terkait. Tak pernah ada sanksi keras. Sangat sedikit pembuat minuman oplosan yang diseret sampai ke meja hijau.
Memang sempat terjadi kekosongan peraturan yang mengatur peredaran minuman keras di tingkat pusat ketika, pertengahan tahun lalu, Mahkamah Agung membatalkan Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 1997 tentang pengendalian dan pengawasan minuman beralkohol, karena dasar hukumnya telah tiada. Namun baru-baru ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2013 tentang pengendalian dan pengawasan minuman beralkohol.
Dengan peraturan tersebut, minuman beralkohol produksi dalam negeri atau impor yang mengandung kadar alkohol di atas 5 persen digolongkan sebagai barang dalam pengawasan, baik produksinya maupun peredarannya. Selain itu, diatur standar mutunya dan di mana minuman itu boleh dijual.
Sayangnya, aturan ini tak ditegakkan secara sungguh-sungguh. Kalaupun ada pengawasan dari pemerintah, pengawasan itu kerap kali hanya untuk minuman keras legal. Minuman keras ilegal, yang umumnya dibuat oleh industri rumahan, nyaris tak "tersentuh". Aparat sering berkilah tak ada anggarannya, atau minuman oplosan bukanlah wewenangnya.
Harus diakui, di sejumlah daerah, mengkonsumsi minuman keras merupakan salah satu tradisi yang dilakukan turun-temurun. Minuman keras menemani pada saat-saat tertentu, seperti acara perkawinan, kematian, atau pesta ritual lainnya. Dengan jatuhnya banyak korban, pemerintah tak boleh diam. Selain mengawasi ketat, mereka seharusnya juga mengkampanyekan bahaya mengkonsumsi minuman keras oplosan.
Minuman oplosan ini masih banyak di pasar karena pembelinya masih banyak dan minimnya penegakan hukum. Mata rantai inilah yang harus diputus. Pemerintah harus bertanggung jawab atas maraknya minuman keras oplosan.