Mahkamah Konstitusi akhirnya mengurangi wewenang Dewan Perwakilan Rakyat dalam penentuan hakim agung. Putusan ini diharapkan menjadi landasan untuk membenahi lembaga yudikatif. Sudah selayaknya lembaga ini menjadi semakin bebas dari pengaruh kekuasaan.
Putusan itu mengoreksi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung. Sesuai dengan Pasal 8 ayat 1 hingga 4 undang-undang ini, DPR berwenang menyeleksi dan memilih calon hakim agung yang diusulkan oleh Komisi Yudisial. Para pemohon-terdiri atas calon hakim agung yang pernah dicoret oleh DPR-meminta agar wewenang DPR dalam aturan itu diubah menjadi menyetujui dan bukannya memilih kandidat hakim agung.
Permohonan yang diajukan setahun lalu itulah yang baru-baru ini dikabulkan. Majelis hakim konstitusi menilai aturan mengenai hakim agung tersebut tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam Pasal 24 A ayat 3 konstitusi ini jelas dinyatakan: calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan. Tak ada kata "diseleksi" atau "dipilih".
Tak hanya mengurangi wewenang DPR, putusan itu juga berarti memulihkan wewenang Komisi Yudisial. Selama ini Komisi harus mengusulkan tiga calon untuk setiap pos hakim agung yang kosong. DPR-lah yang kemudian menyeleksi dan memilih mereka. Dengan koreksi MK, Komisi Yudisial kini cukup mengusulkan satu calon untuk satu posisi hakim agung. Dewan tinggal menolak atau menyetujui kandidat hakim agung itu. Jika DPR setuju, otomatis si calon akan diangkat secara resmi sebagai hakim agung oleh Presiden.
Mekanisme seperti itu bukan hal baru. Penentuan Kepala Polri dan Panglima TNI pun hanya mensyaratkan persetujuan DPR. Mekanisme yang lebih simpel ini akan mengurangi pengaruh politik dalam penentuan hakim agung. Sudah menjadi rahasia umum bahwa politikus Senayan sering menyeleksi calon hakim agung bukan atas dasar kapabilitas dan integritas mereka, melainkan lewat pertimbangan politis. Calon yang lolos seleksi hanyalah yang memiliki hubungan dekat atau "aman" bagi kalangan DPR. Akibatnya, selama ini para politikus mudah mempengaruhi putusan para hakim agung.
Komisi Yudisial kini bisa berkonsentrasi menyiapkan calon hakim agung yang benar-benar berintegritas, berani memerangi korupsi, dan mumpuni di bidang hukum. Lembaga ini tak perlu khawatir lagi akan adanya penyingkiran kandidat yang bagus oleh DPR. Dewan memang masih memiliki hak menolak. Tapi penolakan terhadap kandidat hakim agung tanpa alasan yang masuk akal tentu akan dikecam publik.
Putusan MK diharapkan pula menjadi fondasi untuk membenahi lembaga yudikatif. Kewenangan yang lebih besar bagi Komisi Yudisial itu memang belum cukup. Komisi ini semestinya mendapat wewenang pula untuk membina dan mengawasi total para hakim. Tapi, bagaimanapun, penentuan hakim agung merupakan wewenang yang penting dan bisa mengubah wajah peradilan kita.