Iklan
PADA tahun 1991, Duong Thu Huong ditangkap. Ia disekap selama tujuh bulan oleh sebuah kekuasaan yang dibangun dari jerih perjuangannya: pemeritahan sosialis Vietnam. Perempuan ini, yang dulu, pada umur 20 tahun, memimpin sebuah brigade pemuda komunis dalam masa perang, kini, setelah perang dimenangi, dianggap berbahaya bagi Partai. Keyakinannya telah dianggap menyimpang. Ia, yang telah menjadi seorang novelis, hidup dengan seluruh karyanya dilarang. Tapi mungkin ini sebuah contoh tentang ilusi besar totalitarianisme: selama tujuh bulan dalam sel itu Duong tidak merasa bahwa ia tidak merdeka. "Saya masih merasa bebas," demikianlah ia kemudian menulis. "Saya berpikir tentang apa yang ingin saya pikirkan." Dan ia mencipta: "Sel itu penuh dengan nyamuk. Kita cukup menjulurkan tangan buat menangkapnya. Yang saya tangkap banyak. Saya juga mencekal kepinding yang menjalar di mana-mana ke seluruh baju katun tua yang robek yang harus saya pakai. Baju itu berbecak-becak darah tahanan yang memakainya sebelum saya, seseorang yang kena disentri. Saya buru kepinding itu di celah-celah ambin kayu. Mayatnya saya susun untuk membentuk sebuah medan perang: pasase dalam film Liberation karya Boldartchuk dan Perang Waterloo dalam film Napoleon. Saya bermimpi. Dan saya terus bermimpi. Dengan mayat kepinding menggantikan tank dan kanon, mayat nyamuk menggantikan pasukan." Kebebasanyang terkadang tak jauh jaraknya dari mimpiadalah tema sentral bagi hidup Duong. Dalam salah satu tulisannya ia menggambarkan kemerdekaan itu, di negeri tempat dia tinggal, sebagai "sebuah delirium yang bangkit dari dunia lumpur." Sesuatu yang tak begitu jelas yang tumbuh dari realitas yang liat dan becek, sesuatu yang juga bisa seakan-akan "secercah hujan yang lewat, melintasi langit yang abu-abu dan menekan." Apabila kita melihatnya sebagai seorang penulis, masalah ini tentu bukanlah hal yang baru. Dalam riwayat Duong kita misalnya dapat menemukan paralelnya dalam kisah hidup Solzhenitsyn: seorang prajurit dalam Tentara Soviet tahun 1941-1945, yang dipenjarakan oleh Stalin karena kritiknya, dan kemudian menjadi novelis yang memenangi Hadiah Nobel Kesusastraan pada tahun 1970. Tapi bisa saja kesejajaran itu berhenti di sini. Sebab Duong seorang perempuan, dan hanya dengan demikian ia mewakili apa artinya bila tidak-merdeka sama dengan tidak-bisa-menjadi-diri-sendiri. Seorang perempuan adalah, sebagaimana umumnya di Asia, seseorang yang hidup bertahun-tahun untuk sesuatu yang bukan-dirinya. Sebelum umur 18 tahun ia bangun, tidur, makan, bercakap, mengikuti ketertiban yang dirumuskan oleh orang tua. Kemudian lembaga-lembaga lain menyusul: partai, atau rukun tetangga, negara, perkawinan, kepatutan masyarakat. Semuanya menuntut masuk ke dalam hidup, semuanya menyita segala sisa yang ada di dalam hidup itu. Pada suatu saat ketika ia berkata "tidak" kepada itu semua, pada ketika itu ia pun menemukan rona wajahnya kembaliseperti ketika Duong menulis novel. Yang kita temukan adalah apa yang tumbuh dari rasa pedih, dari masa silam yang menekan terus-menerus, yakni suara batin yang dalam. "Aku melihat diriku sendiri melepaskan diri dari kelimun itu," demikian tertulis dalam salah satu bagian Novel Tanpa Nama, sebuah bagian yang mengingatkan kita akan perjalanan hidup seorang perempuan Asia. "Aku merengkuh tiang-tiang berlapis batu giok berwarna merah dan kuning keemasan, meraba jalanku ke luar pintu, melalui ladang-ladang yang hancur. Di sana-sini masih tercecer makanan ternak. Di kejauhan rawa-rawa berpendar kena matahari. Sebaris bangau berenang-renang berkecipak mengejar udang-udang renik. Aku mengikuti jejaknya, membisu seperti bayang-bayang, kakiku yang telanjang masuk ke semak rumput, ke dalam lumpur." Melepaskan diri dari kelimunmungkinkah itu, akhirnya? Duong masuk penjara. Berjuta-juta yang lain masuk ruangan yang tanpa jeruji besi tetapi pada akhirnya sama: ruangan luas konformitas. Dan inilah sebuah alegori yang saya ambil dari Duong: Syahdan, ada seorang maharaja Cina yang hanya mau makan daging burung liar jenis tertentu. Maka para mandarin tingkat tinggi pun mengirim titah agar burung jenis itu ditangkap dan diternakkan di Kota Terlarang, di kebun-kebun yang ditutup dengan jala. Berhasil. Mereka masukkan anak burung yang masih kecil, yang baru keluar dari telur, ke dalam buluh bambu, dan hanya cakar serta paruhnya yang bebas terjulur keluar. Piyik-piyik itu diberi makan padi-padian yang bernilai tinggi, dan buah yang istimewa, maka ketika tumbuh jadi besar, tubuh mereka pun gemuk, tapi terhambat. Dengan mudah koki istana akan membelah bambu itu, dan burung-burung itu pun akan lepas, tapi tak akan bisa terbang. Mereka tak pernah mendapat kesempatan terbang. Mereka adalah hasil asas penyesuaian diri. Kemerdekaan sebab itu dimulai sebelum asas itu berjalan pada tapak pertama: bambu itu harus diretakkan, jala di taman itu harus dirobek, Kota Terlarang harus dibukadimulai dengan, mungkin, sebuah imajinasi bersahaja, misalnya tentang medan perang yang dipenuhi tank dan kanon, kancah yang tersusun dari mayat nyamuk dan kepinding. Goenawan Mohamad