Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan agar pemilihan presiden dan pemilu legislatif dilakukan serentak. Tentu bisa dipersoalkan kenapa Mahkamah baru sekarang membacakan putusan yang sudah ditetapkan tahun lalu itu. Tapi Mahkamah sekurang-kurangnya telah membuka peluang bagi pemilihan umum dan praktek demokrasi yang lebih sehat.
Keadaan yang lebih baik itu memang tak serta-merta berlaku. Dewan Perwakilan Rakyat pasti harus membuat undang-undang baru untuk pemilu serentak pertama pada 2019. Aturan pelaksanaannya pun harus dibuat. Tak soal jika, untuk itu, kemauan partai-partai politik kuat. Masalahnya, di sinilah justru ada keraguan.
Bagaimana kemauan itu tak segegap-gempita sambutan atas putusan Mahkamah sesungguhnya sudah terlihat melalui Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Beberapa pasal undang-undang ini, yang dimintakan uji materi oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilu Serentak, kemudian sebagian dibatalkan Mahkamah. Pasal-pasal itu, terutama yang belum dibatalkan, yang mengatur perolehan kursi minimal sebagai syarat mengajukan calon presiden dan wakil presiden, mencerminkan ego partai-partai besar.
Hasrat partai untuk melayani kepentingan diri sendiri itu teramat besar. Partai bahkan tak merasa risau jika harus melahirkan undang-undang yang pasal-pasalnya tak sejalan atau bertabrakan dengan konstitusi.
Dalam hal ketentuan tentang pemilihan presiden dan wakil presiden, jika partai setia merujuk pada pembahasan peraturan-peraturannya dalam sidang amendemen konstitusi, keinginan untuk melahirkan aturan-aturan yang cacat itu semestinya tak perlu ada. Pasal 22E ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 malah telah gamblang menegaskan bahwa pemilihan umum diadakan sekali dalam lima tahun, tanpa menyinggung pemilihan terpisah. Pasal inilah, antara lain, yang oleh pemohon uji materi diperhadapkan dengan pasal-pasal yang dianggap bermasalah dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008.
Baca Juga:
Munculnya keraguan terhadap kemauan partai itu sebenarnya bisa dihindari jika Mahkamah cukup menentukan apakah undang-undang yang berlaku sesuai dengan konstitusi atau sebaliknya. Dalam putusannya, Mahkamah memang hati-hati: dengan mengabulkan permohonan uji materi dan baru memberlakukannya mulai tahun depan, kekacauan penyelenggaraan pemilu tahun ini bisa dihindari. Tapi, menentukan kapan undang-undang dinyatakan inkonstitusional sebenarnya bisa berarti Mahkamah telah sekaligus membuat peraturan.
Tindakan membuat peraturan seperti itu memang bukan sesuatu yang diharapkan dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Masalah apakah pemilihan presiden dan wakil presiden dilakukan terpisah atau serentak dengan pemilihan legislatif juga sama sekali tak bersifat genting. Maka, putusan terhadap permohonan Koalisi boleh dibilang melampaui porsinya.
Jika hal-hal itu terabaikan, baik oleh para pemohon uji materi maupun oleh publik secara luas, pasti karena apa yang seketika terlihat di cakrawala lebih mengundang antusiasme: bahwa di negeri ini bakal berlangsung pemilihan umum serentak.