Meski tak begitu mengejutkan, laporan terakhir Human Rights Watch seharusnya menjadi peringatan serius bagi pemerintah Indonesia. Menurut lembaga yang berpusat di New York itu, selama 2013 penegakan hak asasi manusia di Indonesia malah mundur jauh ke belakang.
Laporan HAM Dunia yang terbit pekan lalu itu menguatkan hasil survei lembaga pegiat hak asasi nasional, Setara Institute, Desember lalu. Memakai delapan indikator utama, survei oleh Setara mengungkapkan indeks kinerja HAM Indonesia pada 2013 jauh merosot dibanding tahun sebelumnya, bahkan yang terburuk dalam empat tahun terakhir.
Menurut Human Rights Watch, kaum minoritas beragama dan perempuan terus mendapat perlakuan diskriminatif. Penyerangan dan pengusiran atas kelompok Syiah dan Ahmadiyah, serta maraknya peraturan yang "memojokkan" perempuan, menjadi catatan hitam pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.
Sepanjang tahun lalu, pemerintah Yudhoyono kembali dianggap gagal menegakkan hukum untuk menjamin tegaknya hak kalangan minoritas. Sampai saat ini, ratusan orang masih bertahan di lokasi pengungsian karena terusir dari kampungnya akibat perbedaan keyakinan beragama, seperti penganut Ahmadiyah di Lombok dan penganut Syiah di Sidoarjo. Ada di antara mereka yang sudah tujuh tahun tinggal di barak pengungsian.
Kalaupun ada pelaku kekerasan yang diseret ke jalur hukum, biasanya sebatas pelaku lapangan, sedangkan para "dalangnya" tak tersentuh hukum. Dalam konteks ini, wajar bila Human Rights Watch secara khusus mengkritik pernyataan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi bahwa Front Pembela Islam merupakan "aset nasional".
Laporan Human Rights Watch soal nasib perempuan Indonesia juga sulit dibantah. Dalam urusan ini, pemerintah bahkan bisa dianggap aktif melakukan diskriminasi. Catatan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan bisa menjadi bukti. Sampai 2013, ada 342 peraturan yang membedakan perlakuan terhadap perempuan dari kaum lelaki, 97 persen di antaranya di daerah. Misalnya, peraturan tentang cara berpakaian, peraturan prostitusi, dan pornografi.
Stempel diskriminatif itu tak hanya memalukan dalam pergaulan dunia. Peraturan dan sikap pemerintah yang diskriminatif-dalam bentuk apa pun-jelas membahayakan kemajemukan dan kelangsungan hidup bangsa. Karena itu, dalam beberapa bulan sisa masa pemerintahannya, Presiden Yudhoyono seharusnya segera mengambil langkah nyata. Memastikan aparat menindak tegas pelaku dan otak kekerasan terhadap kelompok minoritas beragama semestinya bukan hal sulit bagi seorang presiden. Itu hanya soal kemauan, ketegasan, dan konsistensi.
Pemerintah juga perlu segera mengoreksi-bahkan mencabut-berbagai peraturan yang diskriminatif. Pemerintah tak perlu menunggu pihak yang dirugikan mengajukan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi. Toh, berbagai peraturan diskriminatif itu sudah jelas bertentangan dengan konstitusi, Undang-Undang Perlindungan Hak Asasi, dan berbagai konvensi internasional yang diratifikasi Indonesia.