H Maulwi Saelan,
Ketua Umum PSSI 1965-1967; Kapten Timnas PSSI
Ada kesan tersendiri, ketika saya membaca artikel Saudara Eddi Elison berjudul Semangat Kementerian Olahraga (Koran Tempo, 27 Agustus), khususnya tentang Trilogi Keolahragaan Nasional yang terdiri atas PON I 1948 di Solo, Asian Games IV 1962 di Jakarta, dan Games of the New Emerging Forces (Ganefo) 1963 di Jakarta. Kesan tersebut terbangun karena pada ketiga peristiwa tersebut, atas kehendak Tuhan yang Maha Kuasa, saya ikut terlibat di dalamnya.
Trilogi pertama, PON I, diselenggarakan dengan penuh kesederhanaan karena Indonesia dalam tekanan dan ancaman Belanda. Namun "pesta" tersebut tetap berjalan dengan sangat semarak. Semua atlet dari 13 "Kresidenan" bertekad bukan hanya akan menyukseskan pertandingan, melainkan memperlihatkan bahwa pemerintah RI tetap ada, eksis, dan berdaulat. Mereka akan melawan propaganda Belanda, yang menyebut RI kolaps. Tidak mengherankan jika, sebagai kiper, saya menyimpan pistol dalam gulungan handuk, dan meletakkannya di sisi tiang gawang, untuk siap siaga jika sewaktu-waktu tentara Belanda menyerang. Hal yang sama dilakukan oleh atlet lainnya. Kebetulan atlet yang juga tentara cukup banyak masuk dalam kontingen tersebut.
Kehadiran Presiden Sukarno, Wapres M. Hatta, Jenderal Soedirman, serta wakil-wakil dari Komisi Tiga Negara--Merle Cochran (AS), P. van Zeeland (Belgia), dan Critchley (Australia)--dalam pesta olahraga itu membuat dunia mengakui eksistensi RI sebagai negara berdaulat. Padahal, saat itu, sesuai dengan Perjanjian Renville, RI hanya terdiri atas Sumatera, Jawa, dan Madura. Atas dasar itu, saya bersepakat bahwa PON I disebut sebagai PON Perjuangan. Terlebih, tanggal pembukaannya, 9 September, ditetapkan sebagai Hari Olahraga Nasional (Haornas) oleh Presiden Sukarno, yang setiap tahun diperingati oleh negara dan rakyat Indonesia.
Trilogi kedua, Asian Games IV, merupakan perjuangan tanpa henti pada tataran internasional. Pada Olimpiade Melbourne 1956, AGF mengadakan rapat dan menetapkan Israel, Pakistan, Singapura, dan Thailand, termasuk Indonesia dan Burma, sebagai calon penyelenggara Asian Games IV. Namun, pada 1958, pada saat Asian Games III di Tokyo, AGF malah menetapkan Taiwan sebagai penyelenggara Asian Games IV. Karena tidak mendapat respons dari pemerintahnya, pada 23 Mei 1958 akhirnya AGF menetapkan Indonesia sebagai penyelenggara Asian Games IV 1962. Setelah tujuh tahun berjuang, barulah Indonesia mendapat kesempatan untuk membuktikan kemampuannya.
Latar belakang inilah yang membangkitkan spirit nasionalisme bangsa Indonesia untuk membuktikan kekeliruan anggapan beberapa negara yang mengira bahwa Indonesia tidak akan mampu menyelenggarakan pesta olahraga besar dan bergengsi. Bersama Bung Karno, akhirnya Indonesia memperlihatkan kepada dunia bahwa negara ini benar-benar berdaulat. Pada momen ini, Indonesia bukan hanya berhasil menyiapkan sarana keolahragaan komplet dengan nama Gelora Bung Karno, tapi juga mampu menunjukkan prestasi. Ini merupakan pangkal tolak "Olahraga Terpimpin", setelah PON I dijadikan sebagai landasan sikap keolahragaan nasional.
Trilogi ketiga, pada 16 Oktober 1962, Menteri Olahraga Maladi mengumumkan keputusan Presiden Sukarno untuk menyelenggarakan Games of the New Emerging Forces (Ganefo). Padahal sebelumnya direncanakan akan diselenggarakan Asia Afrika (AA) Games atau Asia Afrika Amerika Latin (AAA) Games.
Penyelenggaraan Ganefo pada dasarnya merupakan jawaban dan refleksi atas penghinaan IOC yang menskors Indonesia sehubungan dengan peristiwa Israel-Taiwan dalam Asian Games IV. Pemberian skors tersebut tanpa mendengar keterangan Indonesia terlebih dulu. Sikap itulah yang menyebabkan Indonesia akhirnya keluar dari IOC dan mempercepat pelaksanaan Ganefo dan berlangsung sukses. IOC belingsatan karena Indonesia mampu menghadirkan 51 negara dan berhasil merebut posisi ketiga setelah RRT dan Uni Soviet--dengan perolehan medali 21 emas, 25 perak, 35 perunggu.
Keberhasilan Indonesia dalam mewujudkan prestasi oleh raga dalam Trilogi Keolahragaan Nasional, sebagaimana dipaparkan di atas, tidak terlepas dari peran Sukarno. Sebagai ajudan Presiden Sukarno, saya bisa merasakan bagaimana kepemimpinan beliau dalam mensinergikan olahraga sebagai salah bentuk gerakan revolusi mental.
Inilah wujud dari olahraga terpimpin. Dalam perspektif kesejarahan, Olahraga Terpimpin terbukti telah meningkatkan prestasi olahraga nasional. Untuk itu kebijakan ini pantas menjadi acuan kabinet pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla. Kuncinya: Kementerian Pemuda dan Olahraga hanyalah mengurusi olahraga, dan menteri olahraga mendalami spirit serta jiwa Trilogi Olahraga Nasional. Sesuai dengan kondisi dan perkembangan zaman, Menteri olahraga-lah nantinya yang menjadi pemimpin tertinggi olahraga, sebagaimana diperankan Bung Karno pada masa lalu.