Purnawan Andra,
Peminat Kajian Sosial Budaya
Lagu sebagai wujud ekspresi seni (musik) mempunyai posisi, fungsi, dan pemaknaan yang lekat dengan kebutuhan akan estetika, etika, identifikasi, dan komunalitas. Seturut Shin Nakagawa (2000), eksistensi musik dapat dilihat dari kedudukannya sebagai teks dan konteks di dalam masyarakat. Musik bukan hanya sebuah ekspresi bunyi (teks) yang menghibur atau semata sebagai tontonan, tapi juga sebuah ruang pembacaan yang lebih kritis tentang identitas, tradisi, modernitas, dan sejarah musik itu sendiri (konteks) dalam masyarakatnya.
Lagu bisa menjadi sarana artikulasi ide dan pemikiran. Potensialitasnya menjadikannya senjata ampuh yang mampu menarik khalayak lebih luas untuk terlibat, termasuk dalam politik. Terbukti, di masa pilihan legislatif lalu, orasi politik selalu melibatkan panggung musik dalam setiap kampanyenya. Musik dieksploitasi politikus untuk menarik massa.
Lagu juga bisa hadir pada peta sejarah yang lebih luas dan menjadi perdebatan kontekstual. Pun berperan positif untuk menciptakan paradigma zaman ketika mampu merepresentasikan kondisi aktual dan faktual masyarakat. Seperti ketika kita mengingat lagu Genjer-genjer yang menjadi kontroversi hingga kini.
Aris Setiawan (2011) menulis bahwa lagu yang diharamkan di era Orde Baru itu diidentikkan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Penciptanya, Muhammad Arief, asal Banyuwangi, meninggal karena dibunuh dan dianggap sebagai pengikut PKI dalam pembantaian 1965-1966. Padahal lagu ini secara lugas mengisahkan kondisi ekonomi rakyat yang dilanda kelaparan dan kemiskinan hebat sampai tidak mampu membeli beras. Akibatnya, genjer (Limnocharis flava), yang merupakan tanaman gulma dan biasanya dikonsumsi itik, dijadikan makanan utama bagi sebagian besar rakyat Indonesia. Oleh PKI, lagu ini dijadikan corong perjuangan ideologinya dalam "memperjuangkan nasib rakyat". Namun seusai peristiwa 30 September, kebijakan politik penumpasan paham komunis sampai ke akar-akarnya turut menyeret lagu ini menjadi sesuatu yang mesti dilenyapkan.
Meski pernah dipopulerkan oleh penyanyi Lilis Suryani dan Bing Slamet, lagu ini semakin lama makin tak terdengar. Padahal, jika dikembalikan pada kodratnya, lagu sederhana ini tak lebih dari sekadar peristiwa bunyi yang tak berbeda dengan lainnya. Strukturnya dengan deretan nada, kontur melodi, dan konsep harmoni menjadikannya sebagai sebuah musik. Justru peristiwa dan tragedi yang menyertainyalah yang menjadikannya tabu.
Perkembangan dan pandangan, termasuk tentang musik, memang tidak dapat dilepaskan dari semangat zaman yang memberinya makna. Pada saat yang sama, adagium klasik bahwa "sejarah ditulis oleh para pemenang" (yang biasanya lalu menjadi penguasa) membuat apa saja yang menguntungkan bisa ditonjolkan dan yang melemahkan bisa dibikin kabur atau dihapuskan. Dan sejarah telah menempatkan Genjer-genjer dalam wilayah sunyi yang menjadikannya tak mampu bersuara sebagai sebuah musik.