Komisi Pemberantasan Korupsi harus melanjutkan kembali pengusutan kasus pengadaan Sistem Komunikasi Radio Terpadu di Kementerian Kehutanan. Kasus ini terhenti ketika Anggoro Widjojo, salah satu tersangka penyuap pejabat Kementerian Kehutanan dan Dewan Perwakilan Rakyat, jadi buron. Anggoro adalah Direktur Bisnis PT Masaro Radiokom.
Masaro sudah terbukti menyuap untuk mendapatkan proyek senilai Rp 180 miliar itu. Putranefo Alexander, anak buah Anggoro di PT Masaro, sudah divonis 6 tahun penjara. Yusuf Emir Faishal, bekas Ketua Komisi IV DPR, juga sudah divonis 4,5 tahun penjara karena menerima suap sebesar Rp 125 juta plus Sin$ 220 ribu (sekarang setara dengan Rp 2,1 miliar). Uang tersebut kemudian dibagi-bagikan kepada anggota komisi yang lain.
Sejumlah pihak sudah mengaku menerima duit tersebut, antara lain Partai Kebangkitan Bangsa dan anggota Komisi IV, Suswono, yang kini menjadi Menteri Pertanian. Suswono mengaku menerima Rp 50 juta dan telah mengembalikannya ke KPK. Partai Kebangkitan Bangsa menyatakan telah mengembalikan uang sebesar Rp 500 juta yang diberikan oleh Yusuf-yang menjadi anggota DPR dari Fraksi Kebangkitan Bangsa.
Meskipun sudah mengembalikannya, para penerima duit itu sesungguhnya tidak secara otomatis terlepas dari tuntutan hukum. Dalam Pasal 4 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan tegas disebutkan bahwa pengembalian uang hasil korupsi tidak menghapuskan pidana terhadap pelakunya. Dalam penjelasannya juga dikatakan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara hanya merupakan salah satu faktor yang meringankan.
Pengusutan kasus itu hingga tuntas juga harus dilakukan karena salah satunya menyangkut kewibawaan KPK sendiri. Bersama adiknya, Anggodo Widjojo, Anggoro juga menjadi tersangka kasus Masaro. Anggodo terbukti mencoba menyuap pimpinan KPK sebesar Rp 5,1 miliar agar Komisi menghentikan penyidikan kasus Masaro. Ia juga didakwa berupaya menghalangi penyidikan. Anggodo sudah divonis 4 tahun penjara.
Dalam kasus percobaan penyuapan ini jelas Anggodo tak sendiri. Sejumlah nama, antara lain Ary Muladi, Edi Sumarsono, dan Yudi Prianto-anak Bibit Samad Riyanto, salah satu pemimpin KPK-juga disebut-sebut terlibat dalam kasus ini. Dengan tertangkapnya Anggoro, semestinya KPK memiliki kesempatan yang besar untuk membongkar kasus ini sekaligus membersihkan daki yang sudah mengendap lama.
Komisi juga harus membuktikan bahwa Bibit Samad Riyanto dan Chandra Hamzah, dua pemimpin KPK yang dituding menerima suap dari Masaro, tidak bersalah. Keduanya sempat dijadikan tersangka oleh Markas Besar Kepolisian RI karena dituding menyalahgunakan wewenang. Kasus ini memicu perseteruan antara KPK dan Kepolisian-yang kemudian dikenal dengan sebutan "Cicak Vs Buaya".
Penyelesaian kasus ini menjadi sangat penting karena kasus Bibir-Chandra dihentikan tidak melalui proses peradilan, melainkan dihentikan (deponeering) atas permintaan presiden. Seyogianya KPK memprioritaskan kasus ini diselesaikan agar semuanya menjadi jelas.