Komisi Pemberantasan Korupsi harus membongkar kemungkinan adanya penyelewengan dana haji dan umrah yang dikelola Kementerian Agama. Sudah lama ada kecurigaan tabungan umat Islam yang hendak beribadah di Tanah Suci itu disalahgunakan. Begitu banyak indikasi, namun tak pernah diselidiki. Akibatnya, setiap tahun isu korupsi terus saja muncul.
Beberapa waktu yang lalu Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) melaporkan adanya temuan transaksi mencurigakan hingga Rp 230 miliar pada dana tabungan haji. Itu merupakan akumulasi penyalahgunaan dana dari 2004 hingga 2012. Temuan ini sudah dilaporkan ke KPK.
Menyusul terungkapnya temuan PPATK, Inspektur Jenderal Kementerian Agama Mochamad Jasin menyatakan ada pegawai di kementeriannya yang menyelewengkan dana haji. Dia menyebutkan tiga inisial, HWH, AR, dan FR. Menurut dia, ketiga orang ini, dan beberapa orang lainnya, diduga menggunakan dana haji untuk membeli rumah dan mobil.
Pengusutan atas temuan PPATK ini bisa dimulai dari rekening Menteri Agama yang menyimpan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH). Menurut PPATK, saldo rekening itu mencapai Rp 80 triliun. Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama, Anggito Abimanyu, berjanji akan bekerja sama dengan KPK menyelidiki dugaan skandal di direktoratnya. Maka, semestinya tak ada kesulitan jika KPK segera turun tangan.
Bukan hanya tabungan haji, Dana Abadi Umat, yang merupakan kumpulan sisa dana pengelolaan haji atau hasil pengembangan, juga perlu diaudit. Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan, Dana Abadi sering digunakan bukan untuk kepentingan haji. Misalnya untuk perjalanan dinas Menteri Agama dan sumbangan kepada pejabat. Malah, menurut ICW, pada 2005 ada dana haji senilai Rp 1,23 miliar untuk membiayai rapat anggota Dewan.
Semua itu perlu diusut, termasuk penyelenggaraan haji. Proses pengadaan berbagai kebutuhan naik haji yang cenderung tertutup berpotensi memunculkan banyak penyimpangan. Di sisi lain, ongkos haji yang relatif mahal ternyata tidak membuat jemaah haji kita mendapatkan fasilitas yang lebih baik. Padahal, dibandingkan dengan jemaah asal Malaysia, misalnya, di Mekah dan Madinah jemaah kita masih saja diinapkan di hotel sederhana, jauh dari Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.
Termasuk yang harus diaudit adalah manajemen penyelenggaraan haji. Di samping menutup peluang-peluang korupsi, audit ini bisa mengefisienkan sistem pengelolaan dan meningkatkan kualitas pelayanan haji.
Sambil menunggu manajemen haji dibenahi, pemerintah sebaiknya berhenti sementara memungut dana pendaftaran haji. Apalagi Pasal 22 ayat 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji telah mengingatkan bahwa setoran BPIH harus memperhatikan kuota. Saat ini daftar tunggu haji telah mencapai 1,7 juta orang. Dengan jatah normal haji Indonesia cuma 211 ribu orang per tahun, para pendaftar baru paling cepat baru akan berangkat 10 tahun lagi. Meneruskan pungutan BPIH dari calon haji hanya akan menumpuk uang di rekening Menteri Agama dan membuka lebar peluang korupsi.