Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Boualem

Oleh

image-gnews
Iklan
Boualem Yekker, seorang pemilik toko buku, hidup dalam kesepian dan kemarahan yang diam, di sebuah negeri yang dulu sebuah republik tapi kini menyebut diri "Komunitas Iman". Perubahan berlangsung di sekitarnya: para pemuda Ikhwanul Waspada muncul ke mana-mana, merusak alat musik, membakar film berpuluh-puluh rol, merobek kanvas lukisan, menghancurkan patungdengan keyakinan bahwa keindahan hanya ada di Tuhan, dan tak ada di bumi yang layak menyaingi wajah-Nya. Demikianlah awal rasa masygul Boualem Yekker. Ia terpojok, ia terkucil, karena sejak dulu ia "menginginkan nyanyian keberangkatan, ratapan yang berbicara tentang kangen ke masa lampau, dan dukacita seorang yang sesat di sebuah kota pembuangan". Sejak kecil, sejak ia belajar di madrasah yang ketat mengajarkan Quran, ia ingin berjalan ke pelbagai tempat di muka bumi. Baginya, ayat-ayat yang menandai jalan ke surga itu terlampau keras dan tegas. Tapi apa daya: ia harus tetap berada di sekolah yang mengungkung itu. Sementara itu, ia tahu: di jam-jam itu, yang sepenuhnya diabdikan untuk memuja dengan membisu sang Kebenaran, sebenarnya berdiri sebuah perisai di antara dirinya dan "sebuah semesta yang mengasyikkan, sebuah semesta yang mempesona tapi juga berbahaya, di mana berisik yang bermain-main terdengar bersama suara mobil, hewan-hewan yang menakjubkan, dan kapal yang melenguh menuju ke laut lepas". Ketika ia tumbuh tua, Boualem Yekker, tokoh utama dalam novel Le Dernier ete de la Raison (Musim Panas Terakhir Akal Budi), yang terjemahan Inggrisnya terbit tahun ini, makin tahu: bukan cuma ruang kelas itu yang melintang antara dirinya dan perjalanan tualang, tapi juga masyarakat, "yang dibuatkan, oleh sang Teks, sebuah masyarakat yang dipukat oleh sebuah kata yang melumatkannya". Konflik antara si pemilik toko buku yang tak lagi punya pembeli dan masyarakat sekitarnya itu memang tak terelakkan. Bahkan Boualem dimusuhi oleh kedua anaknya sendiri. Bergabung dengan para pemuda militan, si Kamel dan si upik meninggalkan si bapak sendirian di antara skeptisismenya, keraguannya, buku-bukunya. Tapi, sampai akhir novel ini, kita tak tahu bagaimana konflik itu berujung. Le Dernier ete de la Raison tak pernah selesai. Pengarangnya, Tahar Djaout, penyair dan novelis Aljazair yang tinggal di Bainem, diserang sejumlah pembunuh pada 26 Mei 1993. Setelah sepekan lamanya dalam keadaan koma, ia mati. Naskah novel setengah jalan ini ditemukan di antara tumpukan kertas di kamarnya, dan diterbitkan di Prancis di tahun 1999. Salah satu pembunuhnya kemudian menyatakan bahwa Djaout dibunuh karena ia "memainkan pena yang menakutkan, yang bisa berdampak pada kalangan muslim". Antara pena yang kecil dan Pena Akbar, antara kata seorang novelis dan sang Sabda, memang bisa, dan acap kali, terjadi benturan. Tapi kenapa Kebenaran jadi takut oleh pikiran seseorang, yang pada dasarnya adalah sebuah percobaan dengan kesalahan? Wole Soyinka, orang Nigeria pemenang Nobel Kesusastraan untuk tahun 1986, memberi pengantar untuk novel yang tak selesai ini dengan mengatakan bahwa "wacana hidup-atau-mati dari abad ke-21 tanpa diragukan lagi adalah wacana kefanatikan dan tak adanya toleransi". Saya kira Soyinka salah: apa yang digambarkan Djaout, apa yang terjadi di Aljazair, di Afganistan, dan agak secara terbatas dicoba terjadi di Indonesia, bukan keistimewaan abad ini. Hasrat untuk menyelamatkan manusia dari tubuh dan pikiran yang "berdosa"sebuah penyelamatan yang tak jarang dilakukan dengan paksapernah dicoba oleh Savonarola di Firenze di akhir abad ke-15, oleh Calvin di Jenewa di pertengahan abad ke-16. Dengan bentuk iman yang lain, juga oleh "Revolusi Kebudayaan" Mao di Cina di pertengahan abad ke-20. Kita kini tahu semuanya gagal. Mungkin sebab itulah Djaout, seraut pena kecil, jadi menakutkan: orang-orang saleh di Aljazair itu secara instingtif tahu bahwa hasrat untuk menghela manusia ke dalam iman yang sempurna selalu limbung. Kenyataan jiwa (dengan unsur ketaksadarannya) dan kenyataan tubuh tak bisa diajak buat sempurna. Dan pena-pena kecil itulah yang menjadi isyarat bahwa ada yang lain dari kesempurnaan. Sebab itu mereka menulis puisi, membawakan nyanyi, membentuk garis, mereka warna: mereka mencoba menangkap Yang Indah, tapi tak kunjung tuntas. Pada akhirnya, merekalah sebuah antitesis bagi utopia dalam wujud apa pun. "Kata-kata," demikian ditulis Djaout dalam novelnya, "diletakkan dari ujung ke ujung, membawa keraguan dan perubahan." Tapi tentu saja ada kitab di mana semua itu dianggap "berhenti". Novel Le Dernier ete dibuka dengan sebuah khotbah: "Buat apakah buku-buku bila sang Kitab hadir untuk memenuhi tiap rasa ingin tahu dan melepas setiap dahaga?" Yang tak dikatakan oleh khatib itu ialah bahwa rasa ingin tahu dan rasa dahaga tak pernah habis, dan mungkin sebab itu sang Kitab menjadi sesuatu yang seperti kita lihat sekarang: sebuah teks-dalam-sejarah. Satu telaah yang cemerlang oleh Taufik Adnan Kamal, dosen ulumul Quran pada Fakultas Syariah IAIN Alauddin, Makassar, menunjukkan bahwa di masa awalnya Al-Quran sendiri mempunyai tradisi teks dan bacaan yang beragam, tak tunggal dan tak mandek. Seperti ditunjukkan sejumlah manuskrip zaman Khalifah Utsman, apa yang tertulis di sana bertaut dengan proses penyempurnaan aksara Arab yang mencapai puncaknya pada ujung abad ke-9. Boualem, sang tokoh novel, amat suka teks bahasa Arab, "di mana semua suara menyimpan dialog dan berbaur". Di depan teks itu, "tiap kali, membaca merupakan sebuah avontur baru, langkah ke depan yang tak bisa diduga". Yang menyedihkan ialah bahwa di akhir Le Dernier ete, pemilik toko buku itu menyaksikan bagaimana teks bisa membisu: negeri telah mengusir semua kata yang tak terkendali, dan "lagu pun lari ke negeri orang terbuang". Goenawan Mohamad
Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

4 hari lalu

Perwakilan dari tiga ratus guru besar, akademisi dan masyarakat sipil, Sulistyowari Iriani (kanan) dan Ubedilah Badrun memberikan keterangan pers saat menyampaikan berkas Amicus Curiae terkait kasus Perkara Nomor 1/PHPU.PRES/XXII/2024 dan Perkara Nomor 2/PHPU.PRES/XXII/2024 perihal Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2024 kepada Mahkamah Konstitusi (MK) di Gedung 2 MK, Jakarta, Kamis, 28 Maret 2024. TEMPO/Subekti
MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

Hakim MK telah memutuskan hanya 14 amicus curiae, yang dikirimkan ke MK sebelum 16 April 2024 pukul 16.00 WIB yang akan didalami di sengketa Pilpres.


Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

45 hari lalu

Film Djakarta 1966. imdb.com
Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

Peristiwa Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar disertai gelombang demo mahasiswa terekam dalam film Djakarta 66 karya Arifin C. Noer


53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

50 hari lalu

Wartawan Senior TEMPO Fikri Jufri (Kiri) bersama Kepala Pemberitaan Korporat TEMPO Toriq Hadad dan Redaktur Senior TEMPO Goenawan Mohamad dalam acara perayaan Ulang Tahun Komunitas Salihara Ke-4, Jakarta, Minggu (08/07). Komunitas Salihara adalah sebuah kantong budaya yang berkiprah sejak 8 Agustus 2008 dan pusat kesenian multidisiplin swasta pertama di Indonesia yang berlokasi di Jl. Salihara 16, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. TEMPO/Dhemas Reviyanto
53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

Majalah Tempo telah berusia 53 tahuh, pada 6 Maret 2024. Panjang sudah perjalanannya. Berikut profil para pendiri, Goenawan Mohamad (GM) dan lainnya.


53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

50 hari lalu

Goenawan Mohamad dikerumuni wartawan di depan gedung Mahkamah Agung setelah sidang gugatan TEMPO pada Juni 1996. Setelah lengsernya Soeharto pada 1998, majalah Tempo kembali terbit hingga hari ini, bahkan, saat ini Tempo sudah menginjak usianya ke-50. Dok. TEMPO/Rully Kesuma
53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

Hari ini, Majalah Tempo rayakan hari jadinya ke-53. Setidaknya tercatat mengalami dua kali pembredelan pada masa Orde Baru.


Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

9 Februari 2024

Sastrawan Goenawan Mohamad dalam acara peluncuran buku
Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

Pendiri Majalah Tempo Goenawan Mohamad atau GM menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi saat ini seolah pemerintahan Orde Baru.


Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

9 Februari 2024

Sastrawan Goenawan Mohamad dalam acara peluncuran buku
Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

Budayawan Goenawan Mohamad bilang ia tak jadi golput, apa alasannya? "Tanah Air sedang menghadapi kezaliman yang sistematis dan terstruktur," katanya.


ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

2 Februari 2024

Pengunjung melihat karya-karya Goenawan Mohamad dalam pameran tunggalnya di Lawangwangi Creative Space bertajuk Sejauh Ini... di Bandung, Jawa Barat, 2 Februari 2024. Sastrawan, budayawan, sekaligus pendiri Majalah Tempo ini memamerkan lebih dari 100 karya seni rupa yang dibuat sejak tahun 2016 sampai 2024. TEMPo/Prima mulia
ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

Karya Goenawan Mohamad yang ditampilkan berupa sketsa drawing atau gambar, seni grafis, lukisan, artist book, dan obyek wayang produksi 2016-2024.


Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

27 November 2023

Ilustrasi Pemilu. ANTARA
Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

Forum Lintas Generasi meminta masyarakat bersuara jujur dan jernih dalam Pemilu 2024.


Ratusan Tokoh Deklarasikan Gerakan Masyarakat untuk Kawal Pemilu 2024: Dari Goenawan Mohamad hingga Ketua BEM UI

21 November 2023

Sejumlah orang dari berbagai latar belakang mendeklarasikan gerakan masyarakat untuk mengawasi Pemilu 2024. Gerakan yang dinamai JagaPemilu itu diumumkan di Hotel JS Luwansa, Jakarta Pusat pada Selasa, 21 November 2023. TEMPO/Sultan Abdurrahman
Ratusan Tokoh Deklarasikan Gerakan Masyarakat untuk Kawal Pemilu 2024: Dari Goenawan Mohamad hingga Ketua BEM UI

Gerakan tersebut diawali dari kepedulian sekelompok orang yang tidak berpartai dan independen terhadap perhelatan Pemilu 2024.


Fakta-fakta Para Tokoh Bangsa Temui Gus Mus Soal Mahkamah Konstitusi

14 November 2023

Gedung Mahkamah Konstitusi. TEMPO/MAGANG/MUHAMMAD FAHRUR ROZI.
Fakta-fakta Para Tokoh Bangsa Temui Gus Mus Soal Mahkamah Konstitusi

Aliansi yang tergabung dalam Majelis Permusyawaratan Rembang itu menyampaikan keprihatinan mereka ihwal merosotnya Mahkamah Konstitusi atau MK.