Mungkinkah aku nanti naik ke Muria tanpa bimbang, seandainya datang suara gaib itu kepadakubisikan yang mengatakan bahwa aku harus membawa anakku ke puncak itu, agar kusembelih? Akan kuasakah aku memotong merih itu, di leher kecil di bawah tatap matanya yang lucu? Mungkinkah aku tak bertanya: benar Tuhankah yang memberikan titah seperti ini, dan bukan Molokh yang tamak? Haruskah seorang bocah 4 tahun kubunuh untuk membuat Ia puas, untuk membuat Ia yakin, bahwa begitu kuat imanku kepada-Nya? Mengapa Ia perlu mengujiku? Adakah Ia syak? Bukankah Ia Maha Tahu?
Aku bukan Ibrahim. Aku hanya salah satu dari jutaan orang yang selama beratus-ratus tahun mendengar kisah nabi yang menurunkan keyakinan Yahudi, Kristen, dan Islam itu. Bila aku bimbang, mungkin karena setelah berabad-abad orang merayakan "Hari Raya Kurban", ada hal yang jadi rutin: kita cenderung lupa bahwa dalam cerita itu, seorang anak sedang direncanakan dibunuh. Khotbah dan petuah pada hari itu hanya cenderung menggambarkan Ibrahim sebagai tokoh dengan iman yang kuat. Ia kukuh, ia setia; ia seperti dinding sebuah benteng, kedap tak tertembus, rata dan kaku. Di mimbar para pendakwah, tak terbayang tokoh seorang ayah seperti aku, seperti kauseorang ayah yang bisa bersedih, cemas, takut kehilangan, dan gundah. Juga tak terbayangkan tokoh seorang anak yang telungkup, ketakutan, menjelang dipenggal.
"Tak terhitung jumlah generasi yang tahu kisah Ibrahim dalam hati, kata demi kata, tapi berapa banyak yang menjadi tak bisa tidur karenanya?"
Itulah kurang-lebih yang ditanyakan oleh Kierkegaardsebuah pertanyaan retoris, tentu sajaketika pemikir Denmark ini membawakan kembali kisah pengurbanan Ibrahim dengan pandangan yang kemudian disebut sebagai "eksistensialis" Kristen yang menggugat Hegel. Ya, siapa yang tak bisa tidur, yang sadar bahwa cerita ini sebuah drama yang tak lazim, tapi tetap drama seorang manusia?
Ibrahim memang bukan sekadar sebuah alegori. Dengan bergelora Kierkegaard menulis sebuah risalah yang dalam terjemahan Inggris dikenal dengan judul Fear and Trembling. Baginya Ibrahim seorang tokoh besardan itu antara lain lantaran keampuhan kekuatannya justru berada dalam ketak-berdayaannya.
Ia sebuah paradoks. Ia bukan sebuah benteng yang kompak. Namun justru sebab itu, yang dilakukannya tak bisa diukur dengan mistar yang sama bagi siapa saja dan kapan saja. Etika, sebagai sesuatu yang universal, tak bisa menjelaskan keputusan sang nabi untuk mematuhi sebuah perintah yang, menurut ketentuan yang umum berlaku, adalah sebuah tindak kriminal. Bagi Kierkegaard, kisah Ibrahimnya justru menegaskan bahwa yang umum berlaku itu, yang universal itu, bukan sesuatu yang layak diraih sebagai hasil proses akal budisesuatu yang tergambar dari pandangan sejarah Hegel. Bagi Kierkegaard, yang universal justru patut ditampik, sebab menenggelamkan yang singular dan tersendiri, dan mengabaikan individu yang hidup dengan batin yang dalam dan majemuk.
Ibrahim adalah sosok dengan batin seperti itu, singular, tak ada bandingannyaterutama ketika ia melepaskan apa yang etis dan meloncat ke dalam iman secara habis-habisan, untuk bertatap muka sendiri dengan Tuhan. Tapi akubisakah aku melakukan salto mortal ke dalam iman itu, seandainya pada suatu hari ada sebuah suara yang bisa aku tafsirkan sebagai yang datang dari Tuhan, yang menyuruhku membunuh anakku? Dengan mulut membisu, Ibrahim berangkat ke tanah Moria, membawa anaknya ke tempat penyembelihan. Kekuatannya ampuh justru dalam ketidak-berdayaannya, kata Kierkegaard tentang tokoh ini. Tapi aku bukan tokoh ini: ada sebuah kekuatan yang tak aku miliki.
Kekuatan itu adalah kekuatan untuk mengelakkan pertanyaan yang resah: bisakah anakku menerima dirinya sebagai tubuh yang dipotong dan dipersembahkan? Aku mencintainya. Tapi betapa muskilnya menentukan seberapa jauh cinta itu lebih kecil ketimbang cintaku kepada Tuhan. Pada saat ini aku harus memilih yang satu, yang kucintai, untuk diberi persembahan, dan yang lain, yang juga kucintai, untuk dipersembahkan. Mana yang harus dikurbankan: yang lemah dan tak abadi, dan sebab itu akan bisa hilang tiap saat, atau yang kuasa dan kekal, dan sebab itu akan tetap di sana selama-lamanya?
Di Gunung Muria itu, di tempat aku mengetuk, "dan aku tak bisa berpaling", seperti kata Chairil Anwar dalam sebuah sajak doa, aku bayangkan aku di sebuah momen genting untuk memilih. Aku, sang ayah, akan tampil sebagai sesuatu yang singular, bak Ibrahim, dengan batin yang dahsyat, dengan iman yang tak terbandingkan, ketika aku dapat melakukan sesuatu yang seperti nabi itu. Tapi tidakkah ini sebuah usaha mengukuhkan eksistensi dan identitasku sendiri? Bisakah aku membunuh seorang yang tak bersalah untuk itu, atas nama ridha-Nya?
Ada egoisme dengan kekerasan dalam pilihan itu. Namun bisa juga dikatakan bahwa orang yang menyajikan kurban terkadang merupakan bagian esensial dari kurban itu sendiri. Kita bayangkan Ibrahim seorang ayah yang menangis; kita akan bisa mengerti kenapa Kierkegaard menyebutnya sebagai "martir pertama". Keputusannya untuk mengurbankan anaknya bukan tanda hilangnya cinta; pengurbanan itu punya nilai justru karena cinta itu utuh; Ibrahim tak sekadar menyembelih kambing. "Ikhlas" hanya mempunyai makna ketika yang dilepaskan adalah sesuatu yang tak tergantikan.
Mungkin di situlah kurban hanya bisa dilihat sebagai kurban: ia sebenarnya tak tergantikan, sesuatu yang lain dari yang lain, seakan-akan di sana tampak bayang-bayang Tuhan sendiri"Yang Maha Gaib", yang tak bisa disamakan dengan apa pun. Apa jadinya kurban tanpa bayang-bayang itu, kecuali sebagai hasil kebuasan? Juga bila atas nama pengurbanan, kekerasan terjadi, dan Ia disebut sebagai Sang Pemberi Instruksi?
Goenawan Mohamad.