Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Muria

Oleh

image-gnews
Iklan

Mungkinkah aku nanti naik ke Muria tanpa bimbang, seandainya datang suara gaib itu kepadakubisikan yang mengatakan bahwa aku harus membawa anakku ke puncak itu, agar kusembelih? Akan kuasakah aku memotong merih itu, di leher kecil di bawah tatap matanya yang lucu? Mungkinkah aku tak bertanya: benar Tuhankah yang memberikan titah seperti ini, dan bukan Molokh yang tamak? Haruskah seorang bocah 4 tahun kubunuh untuk membuat Ia puas, untuk membuat Ia yakin, bahwa begitu kuat imanku kepada-Nya? Mengapa Ia perlu mengujiku? Adakah Ia syak? Bukankah Ia Maha Tahu?

Aku bukan Ibrahim. Aku hanya salah satu dari jutaan orang yang selama beratus-ratus tahun mendengar kisah nabi yang menurunkan keyakinan Yahudi, Kristen, dan Islam itu. Bila aku bimbang, mungkin karena setelah berabad-abad orang merayakan "Hari Raya Kurban", ada hal yang jadi rutin: kita cenderung lupa bahwa dalam cerita itu, seorang anak sedang direncanakan dibunuh. Khotbah dan petuah pada hari itu hanya cenderung menggambarkan Ibrahim sebagai tokoh dengan iman yang kuat. Ia kukuh, ia setia; ia seperti dinding sebuah benteng, kedap tak tertembus, rata dan kaku. Di mimbar para pendakwah, tak terbayang tokoh seorang ayah seperti aku, seperti kauseorang ayah yang bisa bersedih, cemas, takut kehilangan, dan gundah. Juga tak terbayangkan tokoh seorang anak yang telungkup, ketakutan, menjelang dipenggal.

"Tak terhitung jumlah generasi yang tahu kisah Ibrahim dalam hati, kata demi kata, tapi berapa banyak yang menjadi tak bisa tidur karenanya?"

Itulah kurang-lebih yang ditanyakan oleh Kierkegaardsebuah pertanyaan retoris, tentu sajaketika pemikir Denmark ini membawakan kembali kisah pengurbanan Ibrahim dengan pandangan yang kemudian disebut sebagai "eksistensialis" Kristen yang menggugat Hegel. Ya, siapa yang tak bisa tidur, yang sadar bahwa cerita ini sebuah drama yang tak lazim, tapi tetap drama seorang manusia?

Ibrahim memang bukan sekadar sebuah alegori. Dengan bergelora Kierkegaard menulis sebuah risalah yang dalam terjemahan Inggris dikenal dengan judul Fear and Trembling. Baginya Ibrahim seorang tokoh besardan itu antara lain lantaran keampuhan kekuatannya justru berada dalam ketak-berdayaannya.

Ia sebuah paradoks. Ia bukan sebuah benteng yang kompak. Namun justru sebab itu, yang dilakukannya tak bisa diukur dengan mistar yang sama bagi siapa saja dan kapan saja. Etika, sebagai sesuatu yang universal, tak bisa menjelaskan keputusan sang nabi untuk mematuhi sebuah perintah yang, menurut ketentuan yang umum berlaku, adalah sebuah tindak kriminal. Bagi Kierkegaard, kisah Ibrahimnya justru menegaskan bahwa yang umum berlaku itu, yang universal itu, bukan sesuatu yang layak diraih sebagai hasil proses akal budisesuatu yang tergambar dari pandangan sejarah Hegel. Bagi Kierkegaard, yang universal justru patut ditampik, sebab menenggelamkan yang singular dan tersendiri, dan mengabaikan individu yang hidup dengan batin yang dalam dan majemuk.

Ibrahim adalah sosok dengan batin seperti itu, singular, tak ada bandingannyaterutama ketika ia melepaskan apa yang etis dan meloncat ke dalam iman secara habis-habisan, untuk bertatap muka sendiri dengan Tuhan. Tapi akubisakah aku melakukan salto mortal ke dalam iman itu, seandainya pada suatu hari ada sebuah suara yang bisa aku tafsirkan sebagai yang datang dari Tuhan, yang menyuruhku membunuh anakku? Dengan mulut membisu, Ibrahim berangkat ke tanah Moria, membawa anaknya ke tempat penyembelihan. Kekuatannya ampuh justru dalam ketidak-berdayaannya, kata Kierkegaard tentang tokoh ini. Tapi aku bukan tokoh ini: ada sebuah kekuatan yang tak aku miliki.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kekuatan itu adalah kekuatan untuk mengelakkan pertanyaan yang resah: bisakah anakku menerima dirinya sebagai tubuh yang dipotong dan dipersembahkan? Aku mencintainya. Tapi betapa muskilnya menentukan seberapa jauh cinta itu lebih kecil ketimbang cintaku kepada Tuhan. Pada saat ini aku harus memilih yang satu, yang kucintai, untuk diberi persembahan, dan yang lain, yang juga kucintai, untuk dipersembahkan. Mana yang harus dikurbankan: yang lemah dan tak abadi, dan sebab itu akan bisa hilang tiap saat, atau yang kuasa dan kekal, dan sebab itu akan tetap di sana selama-lamanya?

Di Gunung Muria itu, di tempat aku mengetuk, "dan aku tak bisa berpaling", seperti kata Chairil Anwar dalam sebuah sajak doa, aku bayangkan aku di sebuah momen genting untuk memilih. Aku, sang ayah, akan tampil sebagai sesuatu yang singular, bak Ibrahim, dengan batin yang dahsyat, dengan iman yang tak terbandingkan, ketika aku dapat melakukan sesuatu yang seperti nabi itu. Tapi tidakkah ini sebuah usaha mengukuhkan eksistensi dan identitasku sendiri? Bisakah aku membunuh seorang yang tak bersalah untuk itu, atas nama ridha-Nya?

Ada egoisme dengan kekerasan dalam pilihan itu. Namun bisa juga dikatakan bahwa orang yang menyajikan kurban terkadang merupakan bagian esensial dari kurban itu sendiri. Kita bayangkan Ibrahim seorang ayah yang menangis; kita akan bisa mengerti kenapa Kierkegaard menyebutnya sebagai "martir pertama". Keputusannya untuk mengurbankan anaknya bukan tanda hilangnya cinta; pengurbanan itu punya nilai justru karena cinta itu utuh; Ibrahim tak sekadar menyembelih kambing. "Ikhlas" hanya mempunyai makna ketika yang dilepaskan adalah sesuatu yang tak tergantikan.

Mungkin di situlah kurban hanya bisa dilihat sebagai kurban: ia sebenarnya tak tergantikan, sesuatu yang lain dari yang lain, seakan-akan di sana tampak bayang-bayang Tuhan sendiri"Yang Maha Gaib", yang tak bisa disamakan dengan apa pun. Apa jadinya kurban tanpa bayang-bayang itu, kecuali sebagai hasil kebuasan? Juga bila atas nama pengurbanan, kekerasan terjadi, dan Ia disebut sebagai Sang Pemberi Instruksi?

Goenawan Mohamad.

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

5 hari lalu

Perwakilan dari tiga ratus guru besar, akademisi dan masyarakat sipil, Sulistyowari Iriani (kanan) dan Ubedilah Badrun memberikan keterangan pers saat menyampaikan berkas Amicus Curiae terkait kasus Perkara Nomor 1/PHPU.PRES/XXII/2024 dan Perkara Nomor 2/PHPU.PRES/XXII/2024 perihal Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2024 kepada Mahkamah Konstitusi (MK) di Gedung 2 MK, Jakarta, Kamis, 28 Maret 2024. TEMPO/Subekti
MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

Hakim MK telah memutuskan hanya 14 amicus curiae, yang dikirimkan ke MK sebelum 16 April 2024 pukul 16.00 WIB yang akan didalami di sengketa Pilpres.


Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

46 hari lalu

Film Djakarta 1966. imdb.com
Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

Peristiwa Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar disertai gelombang demo mahasiswa terekam dalam film Djakarta 66 karya Arifin C. Noer


53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

51 hari lalu

Wartawan Senior TEMPO Fikri Jufri (Kiri) bersama Kepala Pemberitaan Korporat TEMPO Toriq Hadad dan Redaktur Senior TEMPO Goenawan Mohamad dalam acara perayaan Ulang Tahun Komunitas Salihara Ke-4, Jakarta, Minggu (08/07). Komunitas Salihara adalah sebuah kantong budaya yang berkiprah sejak 8 Agustus 2008 dan pusat kesenian multidisiplin swasta pertama di Indonesia yang berlokasi di Jl. Salihara 16, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. TEMPO/Dhemas Reviyanto
53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

Majalah Tempo telah berusia 53 tahuh, pada 6 Maret 2024. Panjang sudah perjalanannya. Berikut profil para pendiri, Goenawan Mohamad (GM) dan lainnya.


53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

51 hari lalu

Goenawan Mohamad dikerumuni wartawan di depan gedung Mahkamah Agung setelah sidang gugatan TEMPO pada Juni 1996. Setelah lengsernya Soeharto pada 1998, majalah Tempo kembali terbit hingga hari ini, bahkan, saat ini Tempo sudah menginjak usianya ke-50. Dok. TEMPO/Rully Kesuma
53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

Hari ini, Majalah Tempo rayakan hari jadinya ke-53. Setidaknya tercatat mengalami dua kali pembredelan pada masa Orde Baru.


Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

9 Februari 2024

Sastrawan Goenawan Mohamad dalam acara peluncuran buku
Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

Pendiri Majalah Tempo Goenawan Mohamad atau GM menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi saat ini seolah pemerintahan Orde Baru.


Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

9 Februari 2024

Sastrawan Goenawan Mohamad dalam acara peluncuran buku
Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

Budayawan Goenawan Mohamad bilang ia tak jadi golput, apa alasannya? "Tanah Air sedang menghadapi kezaliman yang sistematis dan terstruktur," katanya.


ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

2 Februari 2024

Pengunjung melihat karya-karya Goenawan Mohamad dalam pameran tunggalnya di Lawangwangi Creative Space bertajuk Sejauh Ini... di Bandung, Jawa Barat, 2 Februari 2024. Sastrawan, budayawan, sekaligus pendiri Majalah Tempo ini memamerkan lebih dari 100 karya seni rupa yang dibuat sejak tahun 2016 sampai 2024. TEMPo/Prima mulia
ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

Karya Goenawan Mohamad yang ditampilkan berupa sketsa drawing atau gambar, seni grafis, lukisan, artist book, dan obyek wayang produksi 2016-2024.


Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

27 November 2023

Ilustrasi Pemilu. ANTARA
Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

Forum Lintas Generasi meminta masyarakat bersuara jujur dan jernih dalam Pemilu 2024.


Ratusan Tokoh Deklarasikan Gerakan Masyarakat untuk Kawal Pemilu 2024: Dari Goenawan Mohamad hingga Ketua BEM UI

21 November 2023

Sejumlah orang dari berbagai latar belakang mendeklarasikan gerakan masyarakat untuk mengawasi Pemilu 2024. Gerakan yang dinamai JagaPemilu itu diumumkan di Hotel JS Luwansa, Jakarta Pusat pada Selasa, 21 November 2023. TEMPO/Sultan Abdurrahman
Ratusan Tokoh Deklarasikan Gerakan Masyarakat untuk Kawal Pemilu 2024: Dari Goenawan Mohamad hingga Ketua BEM UI

Gerakan tersebut diawali dari kepedulian sekelompok orang yang tidak berpartai dan independen terhadap perhelatan Pemilu 2024.


Fakta-fakta Para Tokoh Bangsa Temui Gus Mus Soal Mahkamah Konstitusi

14 November 2023

Gedung Mahkamah Konstitusi. TEMPO/MAGANG/MUHAMMAD FAHRUR ROZI.
Fakta-fakta Para Tokoh Bangsa Temui Gus Mus Soal Mahkamah Konstitusi

Aliansi yang tergabung dalam Majelis Permusyawaratan Rembang itu menyampaikan keprihatinan mereka ihwal merosotnya Mahkamah Konstitusi atau MK.