Ia sebuah kota yang berubah dari sebuah geografi menjadi sepatah kata dalam dongeng.
Semua ini mungkin bermula ketika Khalif al-Mansur di abad ke-9 mendengar bahwa Bagdad, kota Babilonia tua itu, punya siang yang sejuk di musim panas. Maka di tahun 762 sang Khalif memindahkan tempat kediamannya dari Hashimiya dan memboyong kantor-kantor pemerintahannya dari Kufa. Empat tahun lamanya kota itu dibangun oleh 100 ribu pekerja dan undagi. Berangsur-angsur, istana, gedung, masjid, kebun, dan perumahan berdiri berderet sepanjang Sungai Tigris.
Sebuah pusat baru pun lahir. Bagdad (artinya "Anugerah Tuhan") diganti namanya menjadi Medinat-al-Salam ("Kota Perdamaian"), dan ia pun jadi sebuah pentas, mungkin etalase, dan bahan cerita dan percakapan. Ketika madinah itu berumur 400 tahun, penyair Persia Anwari al-Khurasani masih mengaguminya dengan bergairah. "Diberkatilah Bagdad," tulisnya, dan dari puisinya kita bisa bayangkan bagaimana kehidupan urban saat itu:
Taman-taman penuh dara yang juita seperti Kashmir
Dan ribuan gondola bergerak di atas air
Bagdad mungkin kota terbesar di dunia abad ke-10. Penduduknya diperkirakan mencapai dua juta. Kekayaannya tak terhitung. Sultan al-Muqtadir, misalnya, membangun "Balairung Pohon". Istana itu disebut demikian karena di kolam tamannya didirikan sebuah pokok, lengkap dengan dahan, daun, dan burung-burung, yang semuanya ditatah dari emas dan perak.
Tapi yang gemerlap dan menakjubkanyang menyebabkan Bagdad masuk ke dalam cerita anak-anak tentang jin dan Aladdinhanyalah satu sisi kota itu. Sisi lain adalah sebuah wajah yang mirip kota di Eropa abad ke-21. Di abad ke-10, ada sekitar 11 rumah sakit di Bagdad. Pendidikan kedokteran cukup sistematik; para dokter hanya boleh berpraktek dengan diploma negara. Dalam buku Will Durant, The Story of Civilization jilid ke-4, disebut bahwa di tahun 931 ada 860 dokter yang memegang izin praktek di Bagdad. Ali bin Isa, seorang wazir yang juga pakar kesehatan, mengatur agar tenaga medis yang ahli bergilir mengunjungi orang sakit dari tempat ke tempat, bahkan juga ada kunjungan harian ke penjara-penjara.
Kekuasaan wangsa Abbasiyah, sejak 750 sampai 1058, memang tak berlangsung di atas permadani terbang. Al-Mansur, tinggi, ramping, dengan kulit kehitam-hitaman, berumur 40 tahun, bukanlah seorang pangeran Timur yang romantis seperti yang lazimnya digambarkan. Ia seorang pekerja yang serius: diperbaikinya administrasi kerajaan, disusunnya tentara dengan organisasi yang awet, dibereskannya infrastrukturpendeknya, dibangunnya sebuah institusi yang kemudian menjadi lebih kukuh di bawah Harun al-Rasyid, sultan yang termasyhur itu, yang baru berumur 22 ketika ia naik takhta.
Banyak cerita kedermawanan dan juga kekejaman di bawah sultan ini, begitu berwarna-warni sehingga mungkin dari sana pula kita bayangkan kisah 1001 malam. Tapi Harun al-Rasyid yang mangkat di tahun 809 dalam umur muda, 45, sempat meninggalkan sistem yang rapi dan kekayaan yang berarti; ketika ia wafat, misalnya, di perbendaharaan tersisa dana 48 juta dinar, sebuah jumlah yang amat besar waktu itu. Ketika Al-Makmun menggantikannya, kita mendapatkan di Bagdad seorang penguasa yang punya waktu untuk setiap Selasa di istananya mengadakan seminar tentang pelbagai persoalan theologi dan hukum. Sang Sultan ikut aktif, tanpa meletakkan diri lebih tinggi ketimbang para pakar yang diundang ke sana.
Mungkin di abad-abad itu, di bawah dinasti Abbasiyah ataupun Umayyah, orang menjalankan apa yang dikatakan Nabi dalam sebuah petuah yang termasyhur: "Carilah ilmu sampai ke negeri Cina." Para sultan mengirim orang untuk mendapatkan buku-buku Yunani, terutama dalam matematika dan kedokteran. Di tahun 830 Al-Makmun mendirikan "Balai Kearifan" (Baitul Hikmah): sebuah akademi ilmu pengetahuan, sebuah observatorium, dan sebuah perpustakaan umum. Karya-karya asing diterjemahkan dengan bersungguh-sungguh. Di bawah koordinasi Hunain bin Ishaq, seorang tabib Kristen dari mazhab Nestorian, risalah dan kitab dari bahasa Suriah, Yunani, Pahlavi, dan Sanskerta diperkenalkan ke khalayak berbahasa Arab.
Sebab itulah ketika di Eropa "Abad Gelap" nyaris tak mengenal hasil peradaban Yunani, di dunia Islam hampir secara lengkap karya-karya Plato dan Aristoteles dialihbahasakan. Sebuah semangat kosmopolitan yang membuka diri ke segala arah membuahkan persilangan yang menakjubkan. Dari Hindustan, misalnya, dibawa Siddhanta, karya astronomi Hindi yang berasal dari abad ke-5 sebelum Masehi. Dan dari pertukaran semacam itu Muhammad bin Musa (780-850), matematikus terbesar di dunia zaman itu, membawa karya-karya ilmunyalogaritma, aljabar, persamaan kuadratsampai ke abad ini, melalui pelbagai universitas di Eropa yang kini mungkin telah melupakannya.
Di zaman seperti itu, tentang masa seperti itu, siapa yang dengan bodoh akan berbicara tentang "clash of civilizations"? Sejak abad ke-18, sejak zaman kemenangan Eropa, "Barat" memang sering menyatakan cirinya sebagai ahli waris yang sah dari kebudayaan Yunani. Tapi di antara abad ke-9 sampai dengan abad ke-12, "Barat" yang seperti itu justru bukan Eropa, melainkan "Islam". Ahmad al-Biruni, ilmuwan yang termasyhur karena karyanya yang terbit di tahun 1030 tentang sejarah Hindia (Tarikh al-Hind), dan begitu fasih dalam berbahasa Sanskerta sehingga ia menerjemahkan karya Euklides dan Ptolemeus ke dalam bahasa itu, tetap menyatakan bukan filsafat "Timur" yang akan dipilihnya. Ia punya alasan. "India", katanya, "belum melahirkan seorang Sokrates. Tak ada metode logis yang menghalau fantasi dari ilmu di sana."
Goenawan Mohamad