Firdaus Cahyadi,
Aktivis Lingkungan
September 2014 adalah bulan yang membahagiakan bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pasalnya, pada 23 September lalu waktu New York, Amerika Serikat, Presiden SBY secara resmi diangkat sebagai Presiden Majelis Global Green Growth Institute (GGGI). GGGI adalah organisasi yang bertujuan meningkatkan semangat pertumbuhan hijau, sebuah paradigma yang ditandai oleh keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan pelestarian lingkungan secara berkelanjutan, khususnya di negara-negara berkembang. Apakah kira-kira hal yang menjadi dasar GGGI untuk mengangkat SBY menjadi Presiden Majelis di organisasi internasional itu? Apakah SBY memiliki jejak ekologi yang bagus dalam mengimplementasikan pertumbuhan hijau di Indonesia?
Untuk menjawab hal itu, mari kita lihat jejak ekologi SBY selama menjadi Presiden Republik Indonesia. Di tengah hiruk-pikuk pilpres 2014, Presiden SBY ternyata menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2014 tentang rencana tata ruang kawasan perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan (Sarbagita). Salah satu poin terpenting dari aturan tersebut adalah mengubah peruntukan perairan Teluk Benoa dari kawasan konservasi perairan menjadi zona budi daya yang dapat direklamasi maksimal seluas 700 hektare.
Perpres itulah yang menjadi payung hukum bagi pemilik modal untuk mereklamasi Teluk Benoa. Sebelumnya, upaya pemilik modal untuk mereklamasi Teluk Benoa terbentur oleh aturan Perpres Nomor 45 Tahun 2011 karena kawasan Teluk Benoa masuk area konservasi perairan.
Padahal, menurut pakar geomorfologi dari Universitas Udayana, R. Suryanto, seperti ditulis oleh portal balipost.co.id pada 2013, reklamasi Teluk Benoa akan mengubah sirkulasi air di kawasan itu. Adapun berubahnya sirkulasi air di sekitar Teluk Benoa juga akan berdampak terganggunya perkembangan hutan bakau (mangrove) dan kehidupan biota laut di sekitarnya. Perpres SBY, yang menjadi payung hukum bagi reklamasi Teluk Benoa, mendapat perlawanan dari aktivis lingkungan hidup di negeri ini.
Kebijakan di bawah rezim pemerintah SBY, yang justru mendorong kerusakan lingkungan hidup, tidak berhenti sampai di situ. Sebelumnya, pada Juli 2013, pemerintah di bawah Presiden SBY juga mengeluarkan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 33 Tahun 2013 tentang pengembangan produksi kendaraan bermotor yang hemat energi dan harga yang terjangkau. Mobil itu kemudian disebut low-cost green car (LCGC).
Meski diklaim sebagai mobil yang hemat energi, faktanya mobil LCGC tetap menggunakan bahan bakar minyak. Artinya, LCGC masih menggunakan energi fosil. Hal itu akan semakin menambah emisi gas rumah kaca penyebab perubahan iklim. Bahkan, di lapangan, mobil LCGC banyak menggunakan BBM bersubsidi yang memicu jebolnya anggaran negara. Jejak ekologi pemerintah SBY yang terburuk adalah penanganan kasus lumpur Lapindo.
Pengangkatan SBY menjadi Presiden Majelis GGGI tak lebih sekadar keberhasilan sebuah proyek pencitraani rezim pemerintahan Presiden SBY justru kerap memproduksi kebijakan yang anti-lingkungan hidup. Sayang, organisasi internasional sebesar GGGI kurang cermat melihat kasus-kasus lingkungan hidup di Indonesia sebelum mengangkat SBY menjadi presiden majelis organisasinya. *