Umbu TW Pariangu,
Dosen Fisipol Undana, Kupang
Mampukah peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) pembatalan pilkada via DPRD menembus tembok parlemen yang dikuasai barisan Koalisi Merah Putih (KMP) dengan 292 kursinya di DPR, ditambah seluruh pemimpin DPR? Pertanyaan ini yang menggantung di langit politik kita saat ini. Sejauh ini, Koalisi Indonesia Hebat (KIH) hanya memiliki 207 kursi di DPR dan tanpa satu pun wakilnya di pimpinan DPR sehingga, secara matematis, sulit bagi pemerintah mengegolkan perpu tersebut di Senayan. KMP pasti ngotot mempertahankan pilkada lewat DPRD sebagai lumbung strategi politik ofensifnya untuk berhadap-hadapan dengan pemerintah.
Namun, dalam politik, segala kemungkinan masih bisa terjadi. Perpu Pilkada berpeluang digolkan jika ada kepiawaian komunikasi politik yang diinisiasi oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan sebagai motor koalisi untuk membangun kutub kerja sama yang konstruktif dan visioner. Jika tidak, ini seperti mengulang pengalaman pemilu pasca-1999, di mana pusat kekuasaan berpindah kepada PDIP sebagai pemenang pemilu, namun Megawati Soekarnoputri gagal menjadi presiden karena lamban membangun pendekatan (koalisi) dengan partai lain. Jika tak tercapai deal juga, Jokowi-JK pada akhirnya tinggal menggantungkan harapan pada dukungan politik rakyat, yang tentu saja menyita durabilitas energi politik yang tak sedikit.
Harus diakui, ketidakmampuan Jokowi-JK menaklukkan hati partai pendukung KMP minimal terjadi karena dua hal.
Pertama, konsistensi menerapkan prinsip koalisi tanpa syarat yang dianggap tak memberi insentif dan penghargaan terhadap sumber daya politik yang diekstraksi oleh pemilu. Namun, mekanisme tanpa syarat sangat diperlukan sebagai modal awal membangun legitimasi kekuasaan di mata publik. Politik dagang sapi selama ini terbukti meruntuhkan idealisme berpolitik.
Kedua, konsistensi Jokowi-JK membangun koalisi pemerintahan berdasarkan prinsip antikorupsi membuat partai-partai lain-yang kader-kadernya rawan dan tengah tersandung korupsi-merasa tidak mempunyai chemistry yang sama untuk duduk segerbong.
Namun, politik jalan tengah tetap masih bisa diambil oleh PDIP, khususnya Jokowi, dengan tetap melakukan komunikasi ke kubu PAN, PPP, ataupun Demokrat, berbasis insentif yang diperketat. Insentif ini diawali dengan konsistensi pada syarat profesional, integritas, dan kebersihan jabatan yang akan diberikan. Kuncinya ada pada Megawati Soekarnoputri sebagai veto player.
Tidak ada yang salah apalagi berkurang martabatnya jika Megawati mau memulai komunikasi, terutama dengan SBY, untuk mencari titik kesepahaman. Sejatinya, titik kesepahaman selalu tersedia dalam kerendahan hati seorang negarawan (statemanship) yang lebih mengutamakan kepentingan bangsa daripada politik do ut des (saya mendapat apa). Dalam konteks ini, siapa (mengambil inisiatif) cepat dialah pemenang sejatinya, sesuai dengan tagline klasik JK: "lebih cepat lebih baik!" *