Anton Kurnia,
Penulis
Mohandas Karamchand Gandhi lahir pada 2 Oktober 1869 dan wafat akibat dibunuh seorang Hindu radikal pada 30 Januari 1948. Bulan ini kita memperingati ulang tahunnya yang ke-145. Layaknya Bung Karno (1901-1970) bagi kita, Mahatma Gandhi-demikian dia lebih dikenal-adalah pemimpin karismatis gerakan kemerdekaan India dalam melawan kaum kolonialis.
Baca Juga:
Kata Sanskerta "Mahatma" yang disematkan di depan namanya merupakan penghormatan bermakna "jiwa yang agung". Dia kerap pula dipanggil "Bapu" yang berarti "Bapak" dalam bahasa Hindi. Orang India secara luas memang menganggap Gandhi sebagai Bapak Bangsa yang berjiwa besar dan bijaksana. Dia menjadi simbol pemersatu dan ikon pluralisme. Kita tahu, India, seperti kita, terdiri atas berbagai etnis, bahasa, dan agama. Gandhi yang Hindu membaur tanpa pilih kasih di antara saudara sebangsanya yang muslim atau Sikh, walau akhirnya tewas di ujung peluru kaum seagamanya.
Hingga kini, hari kelahirannya, 2 Oktober, diperingati sebagai Gandhi Jayanti, hari libur nasional yang dirayakan bersama di India. Bahkan, pada 2007, Sidang Umum PBB menetapkannya sebagai International Day of Nonviolence atau Hari Anti-Kekerasan Sedunia. Itu bukan tanpa alasan. Gandhi dikenal konsisten melawan ketidakadilan dengan menggunakan prinsip anti-kekerasan. Sosoknya menjadi inspirasi gerakan hak-hak sipil dan kebebasan di seluruh dunia.
Salah satu ajaran Gandhi yang terkenal adalah penolakan terhadap tujuh dosa sosial, yakni kekayaan tanpa kerja, kenikmatan tanpa nurani, ilmu tanpa kemanusiaan, pengetahuan tanpa karakter, politik tanpa prinsip, bisnis tanpa moralitas, dan ibadah tanpa pengorbanan.
Bila kita kaitkan dengan situasi sosial-politik nasional kita saat ini, ajaran-ajaran Gandhi itu sangat relevan untuk direnungkan dan dimaknai bersama, terutama jika dikaitkan dengan isu keragaman dan kebajikan sosial. Gandhi berupaya menciptakan satu India yang menghargai perbedaan dan keberagaman. Nasionalisme Gandhi berdiri di atas prinsip kemanusiaan. "My nationalism is humanity," kata Gandhi, seperti pernah dikutip Bung Karno dalam pidatonya.
Selaras dengan ajaran Gandhi, Bung Karno pun punya semangat yang sama untuk membangun sebuah negara-bangsa yang tak diikat oleh sentimen suku atau agama. Bung Karno pernah menulis esai di Suluh Indonesia Muda (1926), yang menyerang pandangan sempit yang memecah-belah persatuan karena perbedaan agama, ras, atau etnis. Dia mengingatkan orang betapa bahayanya jika sentimen agama dan ras dibiarkan berkembang menjadi-jadi sehingga merusak persatuan bangsa.
Aksi anarkistis penolakan segelintir orang yang menamakan diri Front Pembela Islam (FPI) terhadap Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta, menggantikan Joko Widodo yang mundur karena terpilih menjadi Presiden RI, adalah contoh pandangan sempit yang tak mau menghargai keberagaman. Penolakan FPI itu didasarkan pada sentimen agama dan ras, karena Ahok seorang Tionghoa dan beragama Kristen.
Seperti ajaran Gandhi, ada baiknya kita kembali merenungi bahwa apa pun agama, suku, dan warna kulit kita, sesungguhnya kita satu dalam semesta kemanusiaan. Perbedaan bukan alasan untuk melakukan kekerasan. Manusia diciptakan berbeda-beda untuk saling melengkapi, bukan untuk saling memusuhi.