TEMPO.CO, Jakarta - Musyafak, staf di Balai Litbang Agama Semarang
Saat ini kehadiran "jurnalisme kicauan" sudah tidak terbendung lagi. Misalnya menjelang pelaksanaan pilpres 2014, berita-berita yang bersumber dari media sosial sangat berlimpah. Akun Twitter para politikus, seperti @SBYudhoyono, @Prabowo08, @jokowi_do2, @Fahrihamzah, @fadlizon, dan sebagainya, kerap dikutip oleh wartawan dalam konten berita.
Jurnalis saat ini lumrah meramu berita yang berasal dari kicauan dan status para politikus atau pengamat politik, sehingga berujung kontroversi dan polemik. Media sosial juga oleh wartawan dijadikan sebagai sarana untuk memantau perkembangan informasi berikut reaksi publik atas informasi tersebut. Pekerja infotainmen bisa dikatakan paling doyan mengutip status atau cuitan para selebritas di media sosial sebagai bahan berita atau gosip.
Kemunculan media sosial, khususnya Twitter dan Facebook, memang membawa pengaruh dalam jurnalisme di Indonesia. Produk-produk jurnalistik hadir dalam bentuk yang lebih interaktif, ringkas, dan renyah. Melalui media sosial, orang-orang mudah mengomentari dan menyebarluaskan informasi. Banjir bandang informasi di media sosial tidak jarang membuat pembaca terapung-apung di tengah usaha pencarian kebenaran suatu kabar.
Hampir bisa dipastikan tiap-tiap media informasi memiliki akun media sosial untuk menyebarkan produk-produk jurnalistiknya. Ciri khas media sosial, yakni keberjaringan, partisipatif-interaktif, kesenangan, dan berbagi, dimanfaatkan oleh industri media untuk memperluas basis konsumennya.
Kegiatan jurnalistik dewasa ini tidak eksklusif hanya milik wartawan profesional. Media sosial menjadi alternatif yang kian memudahkan warga biasa untuk berpartisipasi menulis sekaligus menyiarkan informasi bagi publik, sebagaimana kita kenal dengan istilah citizen journalism (jurnalisme warga). Jurnalisme warga di media sosial lumrahnya tidak melalui seleksi atau editing ketat, sehingga validitas dan kualitas informasi dipertanyakan.
Di kalangan jurnalis profesional juga tidak sedikit yang menulis berita secara serampangan dengan mengutip sumber-sumber dari media sosial. Asalkan ada bahan yang bisa dicomot, sebuah berita ditulis tanpa verifikasi kepada sumber-sumber primer untuk mendalami kebenaran informasi. Kalaupun sebagian jurnalis masih memegang erat disiplin verifikasi, sayangnya ikhtiar verifikasi itu kalah cepat oleh tersebarnya informasi tersebut di media sosial. Melalui media sosial itu pula berita-berita yang tidak jelas kebenarannya mudah dipelintir oleh pihak-pihak tertentu sesuai dengan kepentingannya.
Merujuk pada Kovach dan Rosenstiel (2001), esensi jurnalisme adalah menyampaikan informasi kepada publik sedemikian rupa sehingga publik dapat mengambil keputusan yang berakibat baik bagi hidupnya. Esensi tersebut hanya bisa terwujud dengan adanya disiplin verifikasi untuk menghadirkan informasi yang benar kepada publik.
Watak media sosial yang sebetulnya personal juga menyebabkan banyak informasi bersifat partisan dan tidak obyektif. Karena itu, jurnalisme di media sosial yang lebih condong menjadi "jurnalisme kicauan" perlu ditimbang ulang dari sisi keabsahan, kode etik jurnalistik, serta manfaat-mudaratnya. Jurnalisme kicauan tidak bisa diterima begitu saja jika kita ingin jurnalisme tetap bermartabat dan beradab.