MANA yang lebih dulu: paranoia atau kuasa? Saya duduk dalam gelap. Di depan saya terlintas sebaris kalimat: "Bila seseorang memegang palu, segala soal akan tampak di matanya sebagai paku."
Layar TV itu hampir tak pernah henti bercerita. CNN dan BBC membawakan "Perang Atas Irak"atau, dengan kata lain, sebentuk palu yang bukan alang kepalang besar, yang menghantami sebatang paku yang setengah berkarat. Dan tak begitu jelas kenapa.
Sebuah negara superkuat dengan anggaran belanja militer yang tak tertandingi. Sebuah ekonomi yang terkaya di dunia, dengan industri senjata yang paling inovatif. Sebuah republik 270 juta dengan rakyat yang patriotik. Sebuah kekuatan militer dengan persenjataan perang konvensional yang paling canggih dan senjata nuklir yang paling siap.
Kenapa gerangan Amerika Serikat takut akan ancaman sebuah Irak yang pernah kalah perang, sebuah negeri yang tak bisa menolak rombongan PBB yang menggeledahnya, sebuah ekonomi yang tak punya industri kuat, sebuah bangsa 24 juta yang telah letih, sebuah republik dengan sebuah pemerintah yang tak didukung rakyat, sebuah kekuasaan yang mungkin punya senjata yang mengerikan umat manusia, tapi juga sebuah kekuatan yang menurut Amerika sendiri dapat dikalahkan dengan cepat?
Robert Kagan menulis Of Paradise and Power dan ia merasa punya jawaban: karena Amerika kuat. Eropa, dalam argumen Kagan, punya toleransi yang lebih besar dalam menghadapi ancaman karena kini benua itu relatif lemah. Sedangkan Amerika, "karena lebih kuat", punya "sebuah ambang toleransi yang lebih rendah terhadap Saddam dan senjata pemusnah massalnya."
Tapi ternyata tak hanya terhadap Saddam. Kagan menyebut sebuah jajak pendapat di musim panas 2002. Dari hasilnya tampak bahwa lebih banyak orang Amerika (dibandingkan dengan orang Eropa) yang cemas akan ancaman Irak, Iran, Korea Utara, Cina, Rusia, konfrontasi India-Pakistan, konflik antara Israel dan negara-negara Arab. "Bila seseorang memegang palu, segala soal akan tampak di matanya sebagai paku."
Memang, ada bantahan: jika tuan tak punya palu, tuan tak ingin melihat apa pun tampak sebagai sebuah pakujuga bila benda itu memang paku. Tapi bantahan itu, diutarakan oleh Kagan, tak mengingkari apa yang terjadi di sana: adakah benda X sebuah paku atau bukan, pada akhirnya hal ini ditentukan oleh dunia subyektif sang "aku". Pada mulanya adalah paranoia. Kemudian palu.
Tapi jangan-jangan saya salah. Layar TV berubah. Kali ini TV-5 Prancis mencoba menjelaskan sesuatu tentang Amerika. Kamera menampilkan sebuah kompleks bangunan, mungkin di Seattle, dan tampak gedung perusahaan pembuat kapal terbang Boeing. Di dalamnya, sebuah adegan kegembiraan: sebuah kontrak diperoleh dari Departemen Pertahanan untuk memproduksi sebuah jenis baru pesawat tempur. Kemudian sebuah adegan kejengkelan: seseorang menunjukkan, di komputernya, bagaimana besarnya sumbangan yang diberikan oleh industri militer ini ke Partai Republik dan Partai Demokratyang pada akhirnya enggan menentang perang. Bukan, bukan paranoia yang mendatangkan palu, melainkan laba, juga loba.
Tapi mungkin juga Tuhan? Kamera bergerak ke tempat lain. Serombongan orang berpakaian bagus, setengah baya, penuh lemak, berdoa. The Christian Coalition bertepuk untuk Presiden George W. Bush, seorang yangsetelah hidup berfoya-foya dengan alkohol di waktu mudatelah "lahir kembali". Sang Presiden telah menemukan Yesus. Ia membaca Injil tiap pagi (adakah ia juga membaca bagian ketika Yesus berkhotbah di bukit, menjanjikan bumi bagi mereka "yang lemah lembut"?), dan seperti kaum Fundamentalis Protestan yang mendukungnya, ia percaya bahwa Amerika Serikat adalah Yerusalem Baru. Seperti halnya Israel, sebuah Tanah yang Dijanjikan.
Kamera berpindah. Di sebuah pentas, bendera Bintang-dan-Garis dikibar-kibarkan bersama bendera Bintang David. Anak-anak menari. Bagi orang-orang ini, Amerika Serikat dan Israel selamanya benar. Di luar sana: Iblis. Si jahatdan Saddam Hussein memang memenuhi syarat untuk nama initak bisa dibiarkan.
Ada yang membuat takut, dan membuat masygul, dari Amerika pada abad ke-21 ini. Paranoia, profit, dan Protestantisme dalam varian tersendiri? Mungkin patriotisme? Mungkin. Alexis de Tocqueville menulis dalam jilid pertama Democracy in America, setelah ia berkunjung ke sana pada abad ke-18: "Tak ada yang lebih membikin kita rikuh dalam pergaulan hidup biasa, selain patriotisme orang Amerika yang gampang terusik."
Patriotisme, atau narsisme. Kagan dengan bangga membenarkan anggapan bahwa Amerika ibarat "koboi". "Amerika Serikat memang bertindak sebagai sheriff internasional," tulisnya, "mungkin dengan mengangkat diri sendiri, tapi bagaimanapun disambut secara meluas, mencoba menegakkan sebagian perdamaian dan keadilan di dalam sebuah dunia yang tanpa hukum."
Saya ingat Gary Cooper dalam High Noon. Tengah hari itu ia berdiri sendiri di jalan kota yang mendadak jadi senyap itu. Ada semacam kesepian di sana, ketika ia harus menghadapi sejumlah penjahat yang membentuk a coalition of the willing. Apa yang memikat dari setiap film Western adalah sosok sendirian sang hero di sebuah duel. Kalaupun ia bersama dengan yang lain, seperti dalam Gunfight at the OK Corral, senjata yang dibawanya setara dengan senjata lawan. Ia bertindak bukan karena ia lebih kuat.
Dan ia akan menunggu sampai lawan mencabut pistol. Pada akhirnya, adu kegesitanlah yang akan terjadi, seperti dalam The Fastest Gun Alive. Ia sabar karena ia berani. Wyatt Earp bahkan pernah mengatakan bahwa yang lebih cepat menembak sering bukan seorang yang akurat.
Lagi pula seorang sheriff tak akan memberondongkan peluru lebih dulu dalam suatu pre-emptive strike, hanya karena ia anggap seseorang merupakan ancaman. Di kota itu, ia terikat pada hukum.
Ia sama sekali berbeda dengan sang jagoan dalam Of Paradise and Power.
Goenawan Mohamad