TEMPO.CO, Jakarta - Achmad Fauzi, Aktivis Multikulturalisme
Dunia patut berbangga atas penghargaan Nobel Perdamaian 2014 kepada dua insan penuh dedikasi: Malala Yousafzai dan Kailash Satyarthi. Keduanya dicatat memiliki bakti besar bagi kehidupan dan umurnya diwakafkan secara total untuk kemajuan keadaban dunia.
Dua sosok pejuang tersebut secara kebetulan mewakili dua generasi berbeda. Malala (17 tahun) adalah wanita Pakistan yang gigih memperjuangkan hak-hak anak untuk tetap mengakses pendidikan di tengah kecamuk perang. Sedangkan Kailash Satyarthi (60 tahun), yang berasal dari India, mewakili kaum tua. Sejak 1980-an Kailash teguh mengentaskan anak-anak dari perbudakan kerja dan menjadi tumbal pemenuhan syahwat kapital di India.
Pemilihan Malala dan Kailash adalah tanda zaman baik tentang arti perdamaian dan kutukan perang. Sebab, India dan Pakistan adalah dua negara yang acap bergolak. Sejak pemisahan India pada Agustus 1947, konflik India versus Pakistan terus terjadi. Pemisahan wilayah kekuasaan kerap diwarnai perebutan wilayah Kashmir yang dendamnya bereskalasi menjadi perang antaragama pengikut agama Hindu Sikh dengan Islam.
Karena itu, sekali lagi, Malala dan Kailash adalah tanda zaman yang harus dibaca. Keduanya berasal dari dua agama besar yang berseteru, namun dipertemukan dalam satu bejana kemanusiaan. Tak berlebihan jika kedua sosok tersebut disebut menjadi simbol toleransi dan diharapkan menjadi penawar dua agama yang sedang berkonflik.
Menjadi pejuang hak-hak anak di tengah situasi perang memiliki tantangan dan membutuhkan nyali yang kuat. Tapi kerja kemanusiaan di dalam kamus Malala tidak mengenal kata menyerah. Nyali Malala tak pernah ciut meski selongsong peluru milisi Taliban-sebagai kelompok penentang perempuan bersekolah-merobek kepala dan nyaris merenggut nyawanya. Begitu pula jalan perjuangan Kailash yang terlihat memukau karena memegang ajaran Mahatma Gandi yang antikekerasan.
Membincang Malala, kita diingatkan kepada perjuangan sosok Kartini. Srikandi Indonesia ini juga memiliki rekam sejarah yang baik dalam mengangkat derajat perempuan melalui kanal pendidikan. Kartini mendirikan sekolah wanita di beberapa kota dan mendobrak kultur tabu tentang keterasingan perempuan dengan sekolah. "Perempuan Indonesia harus maju dan bersekolah. Sebab, ia menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama," kata Kartini dalam suratnya kepada Prof Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902.
Dalam konteks Indonesia, spirit kultural Malala harus diterjemahkan oleh pemerintah melalui kebijakan yang pro-pendidikan. Anggaran pendidikan harus dipantau agar tak terjadi kebocoran dan alokasinya tepat sasaran.
Indonesia tidak dalam situasi perang, namun banyak anak-anak Indonesia yang putus sekolah dan akses menuju ke sekolah cukup memprihatinkan. Badan Pusat Statistik pernah melakukan riset pada 2009 terhadap anak usia 7-18 tahun yang tidak/putus sekolah. Sebanyak 56,4 persen disebabkan oleh masalah finansial, 9,8 persen harus membantu orang tua bekerja, 5,1 persen merasa puas dengan tingkat pendidikan yang sudah diraih, 3,0 persen karena menikah dan mengurus anak, 2,7 persen karena jarak sekolah yang jauh.
Karena itu, kita berharap akan lahir Malala-Malala baru di negeri ini yang punya kegigihan juang membela hak pendidikan anak sebagai bagian dari hak asasi.