TEMPO.CO, Jakarta - M. Alfan Alfian, Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta
Meskipun terkesan ada dramatisasi menjelang pelantikan Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla sebagai presiden dan wakil presiden periode 2014-2019, prosesinya tetap akan lancar-lancar saja. Tapi, yang penting sesungguhnya bukan prosesi pelantikan, melainkan masuknya aktor formal pemerintahan ke gelanggang politik kenegaraan.
Pemerintah Jokowi akan segera disambut oleh realitas politik parlemen yang didominasi Koalisi Pendukung Prabowo (KPP) sebagai kelompok penyeimbang. Banyak yang kaget terhadap realitas politik KPP yang ternyata berhasil menguasai kepemimpinan parlemen itu. Sebab, merujuk pengalaman, eksperimen penyeimbang biasanya mudah layu sebelum berkembang.
Akibat penguasaan kepemimpinan parlemen oleh KPP, banyak yang khawatir pemerintah Jokowi tidak akan efektif. KPP dipandang seperti monster bagi rencana kebijakan pemerintah. Bukan hanya itu, ujungnya ke pemakzulan presiden. Bayang-bayang seram itu menandakan bahwa politik telah dilihat secara berlebihan. Akibatnya, seolah kekuatan presidensial Jokowi tekor sejak awal. Yang membuat itu semua justru faktor eksternal yang dipandang telah melakukan pelemahan sistematis. Padahal praktek komunikasi politik saja belum terjadi, bagaimana mungkin pemerintah Jokowi divonis lemah?
Politik ketatanegaraan kita jelas bersistem pemerintahan presidensial. Presiden ialah kepala pemerintahan sekaligus kepala negara. Ia dipilih lima tahun sekali dan memiliki kewenangan penting sebagaimana diatur dalam konstitusi. Presiden ialah pusat dari kekuatan pemerintah (executives power). Tapi di sisi lain Dewan Perwakilan Rakyat tidak dapat, kendatipun punya peluang, menjatuhkan presiden. Pengalaman naik dan jatuhnya Presiden Abdurrahman Wahid bisa menjadi pelajaran. Tapi, DPR bukan hantu, melainkan mitra yang tidak dapat serta-merta menolak rencana-rencana kebijakan penting pemerintah.
Pengerucutan politik di parlemen ke KPP sesungguhnya berdampak baik terhadap praktek presidensial. Sedangkan pakar berpendapat bahwa sistem presidensial cenderung kompatibel dengan sistem kepartaian yang sederhana. Jumlah partai boleh banyak. Tapi, idealnya, pengelompokannya memang hanya dua. Dengan demikian, sesungguhnya Jokowi punya peluang yang besar mengelola potensi konflik politik pemerintah dengan parlemen. Bernegosiasi dengan satu koalisi yang jelas diasumsikan akan lebih mudah ketimbang berurusan dengan kekuatan-kekuatan yang terpencar.
Adanya realitas politik di parlemen yang lebih dominan diduduki penyeimbang, sesungguhnya yang lazim, merupakan konsekuensi pilihan politik. Dominan atau tidaknya penyeimbang di parlemen bukan realitas yang harus diratapi, melainkan tantangan yang harus dijawab dengan strategi dan komunikasi politik yang elegan. Sebagai kekuatan yang didukung arus populis, begitu masuk ke arena interaksi politik kenegaraan yang kontestatif, Jokowi tentu tidak dapat sekadar mengandalkan kekuatan relawan dan media.
Jokowi dihadapkan pada potensi sumber daya presidensial yang dapat dioptimalkan. Andalannya, terutama kekuatan jajaran kabinet. Jokowi bisa seperti pelatih dalam sepak bola yang menentukan strategi menghadapi lawan, apakah total football, catenaccio, atau yang lain. Sebagai "strategist", Jokowi sendirilah yang akan menentukan kekuatan presidensialnya.
Bahkan ia dapat mengeluarkan jurus "veto", kendatipun dalam sistem politik kita presiden tidak punya "hak veto" atas kebijakan parlemen sebagaimana di Amerika Serikat. Jurus veto yang dimaksudkan ialah optimalisasi penggunaan hak prerogatif, termasuk mungkin jurus mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu). Tapi, terkait dengan yang terakhir itu, syarat "kegentingan yang memaksa" tidak boleh diabaikan, kecuali kalau sekadar melempar bumerang. Semua itu sesungguhnya merupakan derivasi dari kepemimpinan Jokowi. Realitas politik akan mengujinya, apakah kepemimpinannya kuat ataukah lemah.
Jokowi juga harus melihat realitas politik internalnya. Karena berangkat dari gagasan-gagasan yang dipandang ideal, pilihan-pilihan politiknya pun berkonsekuensi pada sejauh mana publik populisnya menilai. Kekuatan presidensial Jokowi terlihat dari ranah dukungan publik. Dari sisi Jokowi, kekuatan presidensialnya akan baik manakala dukungan publik solid, ketimbang terpecah. Hal yang terakhir ini bisa terjadi kalau kebijakan pemerintah kontroversial.
Kekuatan komunikasi presidensial tetap akan ditentukan oleh skala prioritas dan teknis pendekatan. Komunikasi presiden harus efektif. Karena bukan era kampanye lagi, pilihan isunya harus lebih selektif. Pendekatannya tetap harus elegan, kalau bukan mengedepankan strategi "soft power" ketimbang yang kontradiktif. Dari sisi ini, banyaknya dukungan media membuat Jokowi punya kekuatan opini. Namun, apabila strateginya kurang tepat, kekuatan media pun tidak akan banyak menolong. Kekuatan presidensial Jokowi tetap pada otentisitasnya sebagai pemimpin.