TEMPO.CO, Jakarta - Irsyad Rafsadi, Peneliti di Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Yayasan Paramadina
Minggu lalu, militer India dan Pakistan kembali terlibat kontak senjata di perbatasan Kashmir. Pada minggu yang sama, Kailash Satyarthi dan Malala Yousafzai, masing-masing dari India dan Pakistan, dianugerahi Nobel Perdamaian. Penghargaan tersebut diberikan atas kiprah mereka memperjuangkan hak dan pendidikan anak-anak.
Nobel perdamaian ini memberi secercah cahaya di tengah suramnya hubungan kedua negara. Ia seperti hendak mengingatkan kedua negara bahwa bagaimanapun, mereka punya akar yang sama dan menghadapi tantangan yang tak jauh berbeda.
Dari umurnya, Kailash, 60 tahun, dan Malala, 17 tahun, lebih cocok menjadi kakek dan cucu. Namun, dalam soal perlindungan hak anak, mereka layak disebut rekan seperjuangan.
Sepanjang hidupnya, Kailash berjuang demi perlindungan hak anak. Dia merintis gerakan nirkekerasan untuk melawan eksploitasi dan menyelamatkan pekerja anak. Dia juga mendirikan semacam lembaga pemberi sertifikat untuk produk yang bebas dari penggunaan pekerja anak sambil menyediakan pendidikan bagi anak-anak korban eksploitasi industri.
Malala sendiri adalah seorang anak. Namun dia, bersama ayahnya, sudah berani memperjuangkan pendidikan anak perempuan di desanya. Dua tahun lalu, milisi Taliban yang tak menyukai aktivitas gadis itu menembaknya tepat di kepala. Tak lama setelah pulih, dia berbicara dalam berbagai forum dunia mengenai isu yang ia perjuangkan. Kini, dia menjadi penerima Hadiah Nobel termuda sepanjang sejarah.
Kailash dan Malala menandai sebuah perpaduan unik yang melibatkan setidaknya tiga lapis identitas: negara, agama, dan gender. Seperti ditegaskan dalam pernyataan komite Nobel, penghargaan tersebut mengimbau penganut Hindu dan Islam di India dan Pakistan agar bersama-sama memperjuangkan pendidikan dan melawan ekstremisme.
Sejak terpisah pada 1947, hubungan India-Pakistan hampir selalu diwarnai ketegangan. Unsur agama, tepatnya saling curiga antara penganut Hindu dan Islam, mewarnai pemisahan kedua negara. Penghargaan bersama ini tidak hanya membangkitkan harapan akan perdamaian antarnegara, tetapi juga kerja sama lintas agama di Pakistan, India, dan di mana saja.
Yang kurang ditegaskan dalam pernyataan komite Nobel di atas adalah aspek gender. Padahal, gender adalah elemen penting dalam berbagai bentuk diskriminasi dan eksploitasi anak. Malala sendiri adalah contoh kasus, bahwa anak perempuan masih dinomorduakan dalam banyak urusan, terutama pendidikan.
Kailash dan Malala sama-sama meyakini pendidikan sebagai jalan keluar. Ungkapan Sekjen PBB, Ban Ki-moon, menggambarkan hal ini dengan baik. Menurut dia, Malala menunjukkan kepada kita bahwa "yang paling ditakuti teroris adalah anak perempuan dengan buku di tangan." Sayangnya, anggaran pendidikan India ataupun Pakistan masih kalah dibanding anggaran militernya.
Kita bersyukur karena rasio anggaran pendidikan di Indonesia jauh lebih baik. Ironisnya, sementara di Pakistan muncul video Malala yang sedang berbicara soal pendidikan, di sini anak remaja kita terekam dalam video deklarasi ISIS. Mungkin mereka hanya sebagian kecil dari anak Indonesia. Tapi itu saja cukup menggambarkan bahwa dalam soal perlindungan anak, kita masih memiliki banyak pekerjaan rumah.