untuk Tony Blair
Bagdad akan jatuh, mungkin besok pagi. Perang akan selesai. Sudah sejak semula kita tahu: Amerika adalah persenjataan yang paling mengerikan di dunia; di hadapannya, siapa pun akan hanya seperti punya sebilah pisau kardus.
Saya menundukkan kepala karena itu, Tuan Blair. Tapi jika saya sedih, pasti itu bukan karena Saddam Hussein pergi.
Saya ingat akan cerita Abdullahi (bukan nama sebenarnya), yang lari dari Basra dan tinggal di tepi Kota Amman, Yordania. Di tahun 1997 kakaknya ditangkap oleh mukhabarat, polisi rahasia, hanya karena menyebut sesuatu yang tak enak tentang Saddam. Ia dibunuh. Kekejaman dan ketakutan bertaut membungkam Irak. Dan bila ada beribu-ribu orang seperti Abdullahi, kita akan mengerti kenapa kediktatoran Saddam adalah kanker. Siapa yang akan menangis untuk sebuah tumor yang tanggal?
Kediktatoran, tumor ganas itu, adalah sistem di mana kekuatan, dengan darah dan besi, mendapatkan pembenaran karena darah dan besi. Seorang diktator menertibkan sebuah ruang hidup dari "anarki", tapi menggantinya bukan dengan tertib hukum yang adil, melainkan todongan bedil. Bila sistem seperti itu diruntuhkan, apa gantinya? Pasti sebuah sistem di mana bukan darah dan besi yang menentukan.
Itulah yang Tuan akan ciptakan, kata Tuan, ketika mengirim pasukan Inggris ke Irak. Tapi Tuan Blair, justru itulah yang saya sedihkan. Bukankah Perang Irak kali ini sebenarnya konsekuensi dari niat untuk menegakkan sebuah sistem dengan dasar darah-dan-besi?
Tuan begitu fasih berbicara, tapi lihatlah, ada kebohongan di dalam alasan Tuan. Setidaknya kebloonan. Tanpa lebih sabar membawa serta PBB melucuti dan memojokkan Saddam, Tuan membiarkan Amerika Serikat (yang sudah berkali-kali melecehkan segala usaha multilateral untuk memperbaiki dunia) menegakkan sesosok Leviathan, sebuah daulat tunggal yang mahakuat, satu "Tuhan Yang Fana"sebuah imajinasi Thomas Hobbes.
Tuan pasti ingat betapa muramnya pandangan Hobbes. Di matanya, hidup seorang manusia adalah "bersendiri, rudin, keji, kasar, dan pendek". Baginya, sifat manusia adalah mementingkan diri sendiri; manusia tak menikmati kebersamaan, dan dalam keadaan alami, makhluk ini terus-menerus berperang satu sama lain.
Tuan pasti ingat apa yang ditawarkan Hobbes agar manusia keluar dari kekacauan itu: semua warga harus setuju untuk mematuhi sebuah kekuatan tunggal yang cukup kuat, dan dengan kekuatan itulah tiap orang dipaksa mengikuti aturan. Hanya dengan itulah perdamaian mungkin. Hanya dengan sang Leviathanyang tak dikendalikan oleh hukum kecuali hukum yang diciptakannya sendiri.
Tapi Hobbes hidup di abad ke-17. Terlalu jauhkah saya untuk menghubungkan Perang Irak di abad ke-21 dengan sebuah pemikiran di Eropa 400 tahun yang lalu? Saya kira tidak. Karena saya membaca apa yang pasti juga Tuan telah baca: The Project for the New American Century (PNAC). Ataukah Tuan tak mau tahu bahwa sebuah Leviathan sedang disiapkan?
"Proyek" PNAC adalah sebuah strategi pengendalian dunia. Di tahun 1997 ia disusun antara lain oleh Dick Cheney (kini wakil presiden), Donald Rumsfeld (kini Menteri Pertahanan), Richard Perle (kini Kepala Dewan Kebijakan Pertahanan), dan Paul Wolfowitz (kini Wakil Menteri Pertahanan). Di sanalah mereka menggelar peta "kepemimpinan global Amerika".
Dulu, sebelum mereka berkuasa, mereka hanya bisa mengirim surat ke Presiden Clinton. Dalam surat di akhir Januari 1998 mereka menyarankan sebuah perubahan radikal dalam menghadapi PBB dan pemerintahan Saddam Hussein. Surat itu (mungkin dianggap terlampau gila) diabaikan. Kini, setelah para penyusunnya berkuasa di bawah George W. Bush, ide mereka pun mereka laksanakan, dengan rapi.
Inilah ide PNAC: dalam jangka pendek, AS harus "siap memimpin aksi militer, tanpa mempedulikan diplomasi". Dalam jangka panjang, AS harus "melucuti Saddam dan rezimnya". Amerika berhak bertempur buat mengamankan kepentingan vitalnya di Teluk. "Dalam keadaan apa pun," tulis mereka, tak boleh politik Amerika dilumpuhkan oleh "desakan yang salah arah dari Dewan Keamanan untuk mendapatkan kata mufakat".
Untuk apa? Jochen Boelsche, dalam majalah Jerman Der Spiegel, mengingatkan bahwa di tahun 1992 The New York Times mengungkapkan proposal Wolfowitz dan Lewis Libby (sekarang Kepala Staf Wakil Presiden) untuk mengganti doktrin Perang Dingin yang berdasarkan "penangkalan" (deterrence) terhadap bahaya musuh. Doktrin yang baru adalah: supremasi Amerika harus dipertahankan atas Eropa, Cina, Rusia. Dominasi AS di Benua Euroasia harus komplet. Tiap penantang harus dihantam lebih duluitulah "pre-emptive strike".
Tuan Blair, coba bayangkanlah ini: sederet orang duduk-duduk di Washington, DC dan membuat sebuah rencana untuk mengubah muka bumi. Mereka berdiskusi, saling adu pintar, merancang, dan kemudian "Glegar!", bom yang paling dahsyat pun dijatuhkan. Jutaan hidup manusia pun berubah, tak jarang hancur. Dan tuan-tuan itu tersenyum: mereka memainkan hidup kita, seakan-akan memainkan sebuah video-game.
Jika saya menundukkan kepala, Tuan Blair, itu karena mulai hari ini merekalah yang menang. Kami, yang cuma punya pisau kardus, hanya makhluk di layar video. Dan mungkin Tuan menerima itu.
Mungkin sebab itulah Tuan berpura-pura tak tahu bahwa Perang Irak sudah direncanakan di tahun 1998, bukan karena amarah Amerika, bukan karena terorisme di tanggal 11 September 2001. Bukan pula karena hendak membangun sebuah masyarakat Irak yang demokratis. Perang itu adalah bab pertama dari penaklukan dunia oleh sang Leviathan.
Goenawan Mohamad