Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Lincoln

Oleh

image-gnews
Iklan

PADA tahun 1950-an, ada sebuah foto yang tak terlupakan yang saya lihat di sebuah majalah: Bung Karno mengenakan jas panjang penangkis dingin, tampak dari punggung. Tangan kirinya merangkul si Guntur yang masih kecil.

Presiden dan putranya sedang dalam kunjungan pertama ke Washington, D.C. Mereka berdiri di ruang utama Lincoln Memorial, menatap ke patung pualam Abraham Lincoln yang duduk setinggi hampir enam meter. Bung Karno tampak sedang menjelaskan sesuatu kepada Guntur.

Kita tak tahu apa yang dikatakannya. Mungkin tentang Lincoln sebagai pembebas, seorang Presiden Amerika dari abad ke-19 yang menghapuskan perbudakan orang kulit hitam dan untuk itu bersedia menempuh perang yang sengit melawan bangsanya sendiri atau siapa saja yang menolak prinsip bahwa perbudakan bertentangan dengan cita-cita Republik. Perang saudara pun pecah, dan korban yang mati dan luka lebih dari sejuta jiwa.

Pasti Bung Karno juga membawa Guntur ke ruang selatan. Di dinding, pidato termasyhur di makam pahlawan di Gettysburg itu terpahat. Huruf-huruf merekam ucapan Lincoln pada tahun 1863 itu: "sebuah bangsa baru, yang dibuahi dalam Kemerdekaan, dan dipersembahkan untuk gagasan bahwa semua manusia diciptakan setara."

Kini 50 tahun telah lalu. Amerika bukan "bangsa baru" lagi. Saya tak tahu siapa lagi yang menjenguk kalimat di kuil Taman Potomac itu.

Dulu Amerika adalah sebuah inspirasi. Ia suara optimisme, bukan Eropa yang tua dan murung setelah dua perang dunia. Jika kemajuan adalah takdirnya, itu karena di Amerika manusia bebas mengembangkan pikiran dan imajinasi di bawah pemerintahan (dalam rumusan Lincoln) "oleh rakyat, dari rakyat, untuk rakyat."

Tapi kini 50 tahun telah lalu.

Di Gedung Putih, Presiden Bushdengan wajah yang tak pernah cerdasbukanlah seseorang yang bisa bicara menggugah tentang gagasan dan pengorbanan. Ia telah menjatuhkan Saddam Hussein, tapi panji-panji "pembebasan Irak" dipasangnya seperti iklan mobil bekas. Tak banyak yang percaya bahwa memang itulah niatnya semula.

Juga orang-orang di sekitar Presiden sendiri. Sebab bagi mereka, yang penting bukanlah pembebasan dan ilham dari abad ke-19. Yang penting adalah rasa cemas abad ke-21. Bagi mereka, dunia adalah gurun liar di mana ancaman jadi bagian hakiki kehidupan global. Sebab itulah perang dimulai.

Sebelum bom pertama jatuh, ada sebuah perdebatan di Heinrich Bll Foundation di Washington, D.C. Di sana hadir tokoh Partai Hijau di Parlemen Eropa, Daniel Cohn-Bendit. Ia berkata kepada Richard Perle, orang penting dari Pentagon, "Tuan-tuan ingin mengubah dunia! Tuan-tuan mengklaim bahwa sejarah akan menunjukkan kebenaran ada di pihak Tuan!" Seperti kaum Bolsyewik, kata Cohn-Bendit.

Bolsyewik? Saya kira Cohn-Bendit keliru. Pemerintah AS yang sekarang tak berurusan dengan "kebenaran" dan menunggu sejarah. Di Gedung Putih dan Pentagon, tak ada Lenin, tak ada Lincoln.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dan itulah soalnya. "Militer kita dipersenjatai sampai ke gigi," tulis Paul Berman, penulis Terror and Liberalism, dalam sebuah artikel dalam The New Republic, "tapi pemerintah kita, karena satu dan lain hal, telah melucuti diri sendiri secara sepihak dari kemampuan persuasi, teladan yang menggugah, kejernihan filsafat, dan kepemimpinan moral."

Dengan kata lain, agenda di Irak lebih ditentukan oleh senjata ketimbang oleh ide-ide. Richard Perle, orang yang cukup berpengaruh dalam menggagas perang melawan Saddam, menjawab Cohn-Bendit: tujuan perang adalah melucuti Irak dari senjata pemusnah massal; demokrasi adalah "sebuah keuntungan tambahan."

Itu berarti, seandainya Irak tak diduga punya senjata nuklir atau kimia, seandainya ia tak dianggap ancaman bagi AS, kediktatoran akan dibiarkan. Rakyat Irak akan tetap hidup dengan 1.001 berhala Saddam di atas pedestal dan 1.001 jerat leher di kamp tahanan.

Maka Berman ingin Lincoln kembali ke abad ke-21. Ia setuju agar AS mengirim pasukan, dengan senjata sampai ke gigi, untuk membangun sebuah demokrasi. Di sini ia mirip seorang Bolsyewik. Baginya perang Lincoln punya dua tujuan: sebagai pernyataan solidaritas dengan yang tertindas dan juga sebagai langkah mengubah "muka Bumi," dalam "sebuah proyek revolusioner untuk pembebasan universal." Sebab bagi Berman, dunia bukanlah dunia yang dibayangkan Thomas Hobbes, di mana sang Leviathan yang mahakuat menertibkan bumikalau perlu tanpa demokrasi.

Itu sebabnya Berman kecewa. Pemerintahan Bush diam-diam menganggap, seperti Perle, demokrasi hanyalah "sebuah keuntungan tambahan". Bagi Berman, orang-orang "realis" di Washington memerangi Saddam dengan niat menegakkan kuasa (power), dan itu saja: "kuasa untuk kuasa."

Saya pun berpendapat, bagi mereka, kuasa memang sesuatu yang sentral. Bagi mereka "nilai-nilai bersama" hanyalah sesuatu yang didesakkan ke segala penjuru oleh yang kuat. Yang "universal" tak pernah ada.

Tapi mereka bukan para "realis". Mereka kaum supremasis. Mereka menyangka kepelikan dunia akan dipecahkan dengan supremasi AS. Hanya dengan unggul kekuasaan, AS dapat mendorong dunia mengubah yang "buruk" jadi "baik" dengan menerima ukuran yang ditetapkan di Pentagon. Tanpa supremasi, gagasan besar cuma impian.

Tapi sadarkah mereka bahwa juga cuma impian untuk membayangkan supremasi yang lengkap? Di Irak, pasukan AS bisa menembaki tank-tank Garda Republik, tapi tak akan bisa menembaki para demonstran yang meneriakkan, "Yankee, go home!" Ada hal yang sama kuatnya dengan kuasa, yaitu legitimasi.

Maka mungkin kita perlu, seperti Bung Karno, seperti Berman, datang kembali ke Lincoln, dan membaca lagi pidato di Gettysburg. Di makam itu, yang hidup membutuhkan legitimasi bahkan dari yang telah matimereka yang tak punya kuasa tapi wakil paling sah dari cita-cita bersama.

Goenawan Mohamad

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

5 hari lalu

Perwakilan dari tiga ratus guru besar, akademisi dan masyarakat sipil, Sulistyowari Iriani (kanan) dan Ubedilah Badrun memberikan keterangan pers saat menyampaikan berkas Amicus Curiae terkait kasus Perkara Nomor 1/PHPU.PRES/XXII/2024 dan Perkara Nomor 2/PHPU.PRES/XXII/2024 perihal Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2024 kepada Mahkamah Konstitusi (MK) di Gedung 2 MK, Jakarta, Kamis, 28 Maret 2024. TEMPO/Subekti
MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

Hakim MK telah memutuskan hanya 14 amicus curiae, yang dikirimkan ke MK sebelum 16 April 2024 pukul 16.00 WIB yang akan didalami di sengketa Pilpres.


Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

46 hari lalu

Film Djakarta 1966. imdb.com
Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

Peristiwa Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar disertai gelombang demo mahasiswa terekam dalam film Djakarta 66 karya Arifin C. Noer


53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

51 hari lalu

Wartawan Senior TEMPO Fikri Jufri (Kiri) bersama Kepala Pemberitaan Korporat TEMPO Toriq Hadad dan Redaktur Senior TEMPO Goenawan Mohamad dalam acara perayaan Ulang Tahun Komunitas Salihara Ke-4, Jakarta, Minggu (08/07). Komunitas Salihara adalah sebuah kantong budaya yang berkiprah sejak 8 Agustus 2008 dan pusat kesenian multidisiplin swasta pertama di Indonesia yang berlokasi di Jl. Salihara 16, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. TEMPO/Dhemas Reviyanto
53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

Majalah Tempo telah berusia 53 tahuh, pada 6 Maret 2024. Panjang sudah perjalanannya. Berikut profil para pendiri, Goenawan Mohamad (GM) dan lainnya.


53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

51 hari lalu

Goenawan Mohamad dikerumuni wartawan di depan gedung Mahkamah Agung setelah sidang gugatan TEMPO pada Juni 1996. Setelah lengsernya Soeharto pada 1998, majalah Tempo kembali terbit hingga hari ini, bahkan, saat ini Tempo sudah menginjak usianya ke-50. Dok. TEMPO/Rully Kesuma
53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

Hari ini, Majalah Tempo rayakan hari jadinya ke-53. Setidaknya tercatat mengalami dua kali pembredelan pada masa Orde Baru.


Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

9 Februari 2024

Sastrawan Goenawan Mohamad dalam acara peluncuran buku
Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

Pendiri Majalah Tempo Goenawan Mohamad atau GM menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi saat ini seolah pemerintahan Orde Baru.


Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

9 Februari 2024

Sastrawan Goenawan Mohamad dalam acara peluncuran buku
Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

Budayawan Goenawan Mohamad bilang ia tak jadi golput, apa alasannya? "Tanah Air sedang menghadapi kezaliman yang sistematis dan terstruktur," katanya.


ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

2 Februari 2024

Pengunjung melihat karya-karya Goenawan Mohamad dalam pameran tunggalnya di Lawangwangi Creative Space bertajuk Sejauh Ini... di Bandung, Jawa Barat, 2 Februari 2024. Sastrawan, budayawan, sekaligus pendiri Majalah Tempo ini memamerkan lebih dari 100 karya seni rupa yang dibuat sejak tahun 2016 sampai 2024. TEMPo/Prima mulia
ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

Karya Goenawan Mohamad yang ditampilkan berupa sketsa drawing atau gambar, seni grafis, lukisan, artist book, dan obyek wayang produksi 2016-2024.


Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

27 November 2023

Ilustrasi Pemilu. ANTARA
Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

Forum Lintas Generasi meminta masyarakat bersuara jujur dan jernih dalam Pemilu 2024.


Ratusan Tokoh Deklarasikan Gerakan Masyarakat untuk Kawal Pemilu 2024: Dari Goenawan Mohamad hingga Ketua BEM UI

21 November 2023

Sejumlah orang dari berbagai latar belakang mendeklarasikan gerakan masyarakat untuk mengawasi Pemilu 2024. Gerakan yang dinamai JagaPemilu itu diumumkan di Hotel JS Luwansa, Jakarta Pusat pada Selasa, 21 November 2023. TEMPO/Sultan Abdurrahman
Ratusan Tokoh Deklarasikan Gerakan Masyarakat untuk Kawal Pemilu 2024: Dari Goenawan Mohamad hingga Ketua BEM UI

Gerakan tersebut diawali dari kepedulian sekelompok orang yang tidak berpartai dan independen terhadap perhelatan Pemilu 2024.


Fakta-fakta Para Tokoh Bangsa Temui Gus Mus Soal Mahkamah Konstitusi

14 November 2023

Gedung Mahkamah Konstitusi. TEMPO/MAGANG/MUHAMMAD FAHRUR ROZI.
Fakta-fakta Para Tokoh Bangsa Temui Gus Mus Soal Mahkamah Konstitusi

Aliansi yang tergabung dalam Majelis Permusyawaratan Rembang itu menyampaikan keprihatinan mereka ihwal merosotnya Mahkamah Konstitusi atau MK.