TEMPO.CO, Jakarta -JJ Rizal, Sejarawan
Idul Adha boleh berlalu di Jakarta, tapi persoalan Ahok dan pedagang kambing Tanah Abang terus hadir. Masalah ini meninggalkan hawa panas yang bukan tidak mungkin menuju titik api.
Apalagi di sekitar persoalan Ahok dan pedagang kambing itu berembus desas-desus, seperti mengaitkan mereka dengan Front Pembela Islam (FPI) yang menolak Ahok sebagai Gubernur Jakarta. Adalah benar FPI bermarkas di Petamburan, Tanah Abang, tapi bukan berarti pedagang kambing sepaham dengan mereka.
FPI berangkat dari sentimen agama. Adapun pedagang kambing berangkat dari masalah tidak adanya pengertian kultural historis Ahok terhadap mereka yang sudah ratusan tahun secara turun-temurun berdagang kambing di Tanah Abang.
Arsip masa Kompeni memerikan para pedagang kambing itu paling tidak sudah ada sejak Kapiten Cina Phoa Bingam mendapat hak sewa Tanah Abang dan membangun kanal Molenvliet pada 1648, yang menghubungkan daerah itu dengan Kota Batavia.
Pasar kambing semakin berkembang manakala Justinus Vinck, penyewa baru Tanah Abang, pada 30 Agustus 1735 mendirikan pasar yang tidak hanya memberi ruang bagi perdagangan kambing, tapi juga bahan tekstil. Mayoritas pedagang tekstil di Pasar Tanah Abang adalah orang-orang Arab. Pada 1920, jumlah mereka sampai 13.000. Kedoyanan mereka menyantap daging kambing bukan saja bikin pasar kambing kian ramai, tapi juga memunculkan pertemuan budaya kuliner. Sop kambing yang kaya rempah dan memakai susu adalah salah satu contohnya.
Pada sekitar 1890, keramaian pasar kambing Tanah Abang menorehkan sejarah baru yang memperlihatkan tempat itu sebagai pusat berkembangnya kebudayaan maen pukulan atau pencak silat Betawi. Ini ditandai dengan kemunculan tokoh legendaris Si Pitung yang berlaga dengan sejumlah begal sepulang dari pasar kambing Tanah Abang. Demikianlah pasar kambing Tanah Abang menjadi tempat maen pukulan Betawi aliran cingkrik, yang memperkenalkan kehebatannya via Pitung dan tersohor sampai sekarang.
Si Pitung menambah pamor pasar kambing sebagai tempatnya jago, yang sebelumnya sudah dikenalkan oleh Gepeng, jago Tanah Abang andalan tuan tanah Tan Hu Teng dari Kebon Dalem. Ini termasuk pula Sabeni dan Rachmat, jago pasar kambing Tanah Abang yang hampir sezaman dengan Pitung. Keduanya tersohor dengan maen pukulan yang kelak menjadi kebanggaan orang Tanah Abang dan sampai kini terus dipelajari, salah satunya oleh jago Tanah Abang, M. Yusuf Muhi alias Bang Ucu. Sabeni kemudian bukan saja dihormati dengan menyematkan namanya sebagai aliran maen pukulan Tanah Abang, tapi juga nama jalan di sana.
Waktu berlalu dan Pasar Tanah Abang yang dimulai sebagai pasar kambing kemudian pasar tekstil pelan-pelan berubah. Pasar tekstil berkembang dan menjadi pusat grosir tekstil terbesar di Indonesia, bahkan Asia Tenggara. Sementara itu, pasar kambing layu dan menyurut. Pasar kambing dirangsek oleh pasar tekstil. Keluarga yang turun-temurun berdagang kambing pun mengecil. Bahkan, ada yang bilang, kini jumlahnya tak lebih dari 1 persen orang Tanah Abang.
Kemerosotan itu dimulai pada 1973, ketika Pasar Tanah Abang diremajakan. Niat Ali Sadikin membangun tempat khusus untuk pedagang kambing di belakang pasar tekstil sekitar Kali Krukut tak terwujud. Pedagang kambing pun terlunta-lunta. Pasar kambing berpindah-pindah dari Kebon Dalem ke Gang Tike (belakang Blok G) dan Blok F. Adapun keberadaan pejagalan kambing, yang menjadi bagian dari pasar kambing di belakang Blok G, pada akhir Agustus 2013 digusur demi program quick wins Jokowi-Ahok, yang salah satunya adalah menata Tanah Abang. Kini sisa pedagang kambing bertahan di lahan 300 meter di Jalan Sabeni, sedangkan relokasi pejagalan kambing di lahan hampir 1.000 meter sampai kini tak jelas pelaksanaannya.
Demikianlah Pasar Tanah Abang sebagai mental map, yang berkaitan dengan identitas suatu tempat sebagai pasar kambing, sedang dalam proses pelupaan. Celakanya, sadar atau tidak, pelupaan itu turut dilakukan oleh Ahok yang beretorika dengan Instruksi Gubernur Nomor 67 Tahun 2014 tentang Pelarangan Menjual Hewan Qurban.
Setelah pada hari-hari biasa mereka digencet, lantas dalam masa yang sangat penting dan sudah mentradisi sebagai salah satu rites de passages, atau ritus kehidupan orang Betawi yang disebut Lebaran Haji-saat pedagang kambing Tanah Abang menjadi bagian dari ritus Islam Betawi itu-mereka malahan terang-terangan digebah. Dalam situasi ini muncul pertanyaan soal keberpihakan. Mengapa pedagang kambing dianaktirikan, sementara pedagang tekstilnya didukung?
Kasus pedagang kambing Tanah Abang adalah gambaran cara pandang dan kebijakan yang kurang paham sejarah, juga kurang berperspektif budaya. Padahal, sejarah panjang identitas unik Jakarta harusnya dapat diunggulkan sebagai diferensiasi sekaligus keunggulan komparatif kultural historis yang penting untuk city branding.