TEMPO.CO, Jakarta - Nur Haryanto anto@tempo.co.id
Teng-teng-teng-teng ... Tidak sari-sarinya saya tergoda oleh suara nyaring penjual makanan yang memukulkan sendok ke piring itu. Tapi, hari libur yang panas selama sepekan terakhir ini menjadi pengecualian untuk membeli sepiring ketoprak. Saya tidak salah terka, karena penjual ketoprak selalu memanggil pelanggan dengan memukulkan sendok ke piring. Kalau sendok beradu ke mangkok, pasti itu penjual bakso.
Baca Juga:
"Cabainya dua saja." Itu saja syarat yang saya minta. Selebihnya, saya pasrahkan racikannya kepada penjualnya. Bukankah Nabi mengatakan, "serahkanlah urusan itu kepada ahlinya"?
Dengan cekatan, tangan si pedagang membelah ketupat menjadi sembilan potongan dan menaruhnya di atas piring. Segenggam tauge dan tahu goreng yang dipotong seukuran dadu ditaburkan. Berikutnya, bihun yang telah diseduh kemudian dijepit dan ditaruh pelan-pelan. Semuanya tersusun lapis demi lapis. Sejurus kemudian, adonan sambal kacang yang tak terlalu kental diguyurkan.
Last but not least (izinkan saya memakai kalimat Inggris ini), kerupuk warna merah diremas-remas dan ditaburkan hingga menggunung dalam menu kuliner tradisional ini. Materi terakhir ini melengkapi keberagaman jenis dan warna makanan dalam piring warna putih itu. Tanpa remukan kerupuk ini, lidah dan mulut kurang bisa bergoyang.
Sebenarnya, ketoprak bagi saya yang berasal dari Yogyakarta lebih dekat dengan seni panggung tradisional, semacam teater. Ketoprak sempat menjadi acara favorit TVRI Yogyakarta pada 1980-1990-an. Puncak popularitasnya ketika stasiun TVRI Yogyakarta menyiarkan Ketoprak Sayembara yang berisi cerita misteri bersambung sepekan sekali pada 1994-1995.
Pada 2000-an, muncul Ketoprak Humor yang digawangi oleh pelawak Srimulat. Timbul, Tarsan, Basuki, Mamik, dan Tessi muncul di panggung ketoprak yang dipentaskan di Gedung Kesenian Jakarta itu. Acara bisa ditonton secara nasional karena disiarkan stasiun televisi swasta. Acara ini ditayangkan pada prime time dan sempat menduduki rating tinggi.
Kini tontonan kesenian tradisional, termasuk ketoprak, sulit ditemui di panggung ataupun dalam tayangan televisi. Suatu hari saya sempat mengobrol dengan Pak Bakdi Sumanto (almarhum) di rumahnya yang asri di Kota Yogyakarta. Pembicaraan yang tidak intens (berbincang-bincang ringan sambil menyeruput teh) salah satunya mengenai ketoprak. Beliau ini guru besar Fakultas Budaya UGM dan bisa dikatakan pendekarnya seni pertunjukan, jadi saya percaya 1.000 persen.
Menurut Bakdi, kesenian tradisional yang satu ini tumbuh di masyarakat agraris yang akhirnya tersingkir kembali ke habitat asalnya. Kondisi ini diperparah oleh pergeseran budaya. Warga di desa yang dulunya menyenangi seni tradisi mulai kalah oleh tontonan baru dari tayangan stasiun televisi swasta.
Eits ... sepiring ketoprak di piring sudah tersaji. Saya menyalakan televisi, ternyata sedang menyiarkan ulang sidang paripurna Rancangan Undang-Undang Pilkada. Saat itu terlihat aksi walk out Fraksi Demokrat. Kabar yang beredar di berbagai media, aksi ini sudah diskenario sejak awal. Hasilnya, UU Pilkada memutuskan kepala daerah dipilih tidak langsung.
Tangan saya refleks memencet tombol merah remote televisi. Tayangan sidang parlemen yang berlangsung sampai dinihari itu bisa mengganggu selera makan saya. Makan ketoprak sepertinya tidak nikmat sambil menonton ketoprak.