Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo sudah menyalakan lampu kuning soal rebutan dana pihak ketiga. Perbankan diminta tidak jor-joran memberikan iming-iming hadiah atau suku bunga tinggi untuk menarik dana masyarakat. Imbauan ini bukanlah yang pertama. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) pun sudah berkali-kali menyampaikan hal yang sama.
Belakangan ini, perbankan kembali marak menawarkan hadiah wah bagi para deposan, termasuk para penabung kecil. Hadiahnya sangat beragam, dari gift murah meriah, umrah, menonton Piala Dunia 2014 di Brasil, sampai mobil mewah yang harganya miliaran rupiah. Selain hadiah, perbankan memberikan suku bunga yang tinggi, sering kali di atas suku bunga penjaminan LPS.
Bank Indonesia mencatat, selama enam bulan terakhir, bank sentral hanya menaikkan suku bunga acuan (BI Rate) 1,75 persen. Namun sejumlah bank menaikkan suku bunga deposito di kisaran 2,5-3 persen. Lembaga Penjamin menetapkan suku bunga penjaminan deposito rupiah 7,5 persen. Patut diduga, banyak bank yang memberikan bunga khusus di atas penjaminan (over the counter).
Melihat situasinya, imbauan saja tampaknya tidak cukup. Apalagi pertumbuhan dana pihak ketiga terus menurun. Pada 2011, dana masyarakat di perbankan masih tumbuh 19 persen. Tahun ini, LPS memperkirakan dana pihak ketiga hanya tumbuh 14 persen. Bahkan dana pihak ketiga yang tercatat di BI pada Januari 2014 hanya tumbuh 11,6 (tahunan). Artinya, duit masyarakat bakal kian terbatas.
Rebutan dana masyarakat ini tidak sehat bagi perbankan maupun pemilik dana. Bagi bank yang masuk kategori Buku 4 dengan modal inti di atas Rp 40 triliun, kompetisi ini mungkin tidak terlalu berbahaya karena modalnya besar. Selain itu, jika menghadapi kesulitan likuiditas, biasanya mereka mudah mencari pendanaan, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
Sebaliknya, bagi bank-bank yang masuk golongan Buku 1 (modal inti di bawah Rp 1 triliun) dan Buku 2 (modal inti di bawah Rp 5 triliun), rebutan dana masyarakat itu bak pisau bermata dua. Jika ikut dalam persaingan, dengan memberikan hadiah atau bunga tinggi, mereka berpotensi menghadapi kesulitan likuiditas. Tapi, jika tidak ikut, bank-bank ini bakal ditinggalkan nasabahnya.
Persaingan tidak sehat ini juga mengakibatkan biaya operasional meningkat. Dampaknya, bank harus mengerek suku bunga kredit agar bisa menutup biaya operasional. Dalam situasi normal, boleh jadi hal ini tidak terlalu membahayakan. Akan sangat berbeda jika Indonesia menghadapi situasi krisis seperti pada 1997-1998. Ketika itu, banyak debitor gagal bayar, dan menyeret perbankan bangkrut.
Rebutan dana ini juga berbahaya bagi para pemilik uang. Dalam banyak kasus, antara lain Bank Century, banyak nasabah yang mudah tergiur suku bunga tinggi. Ketika banknya kolaps, mereka kehilangan sebagian uangnya karena penjaminan dilakukan terbatas, baik dari sisi jumlah maupun besaran suku bunga.
Sayangnya, selalu tak mudah mengatur pengelola perbankan agar tidak berlomba memberikan hadiah atau bunga tinggi. Otoritas Jasa Keuangan agaknya perlu membuat aturan lebih ketat agar kompetisi berjalan sehat melalui layanan prima.