Rendahnya capaian pemasangan radio frequency identification (RFID) di Jakarta merupakan contoh buruk manajemen energi di negeri ini. Selain itu, ongkosnya besar dan tak sebanding dengan manfaatnya.
Dari target pemasangan alat monitoring penggunaan bahan bakar bersubsidi pada 4,5 juta kendaraan di Ibu Kota sampai akhir Maret, saat ini baru terpasang 290 ribu saja, alias hanya 5 persen. Padahal, dalam lima tahun ke depan, PT Inti sebagai pemenang tender harus memasang alat ini pada 100 juta kendaraan di seluruh Indonesia.
Besarnya biaya investasi juga perlu dipertanyakan. Dengan konsumsi BBM bersubsidi tahun ini sebanyak 48 juta kiloliter, PT Inti akan mendapatkan penggantian biaya pemasangan Rp 864 miliar. Artinya, selama masa kontrak lima tahun, PT Inti akan mendapatkan Rp 4,32 triliun-jumlahnya akan semakin besar jika konsumsi bahan bakar bersubsidi meningkat.
Investasi sebesar itu rasanya tak sebanding dengan manfaatnya. Melihat penjualan mobil dan sepeda motor yang tumbuh fantastis dalam lima tahun ini, bisa dijamin konsumsi bahan bakar bersubsidi tak berkurang. Alat kontrol ini hanya bisa mencatat, tapi tak mampu mencegah orang mengakali konsumsi bahan bakar bersubsidi.
Untuk mengurangi konsumsi bahan bakar bersubsidi, tak ada jalan lain kecuali menaikkan harga BBM bersubsidi. Harga bahan bakar yang lebih mahal tentu akan mengurangi konsumsi. Paling tidak, gap atau subsidi yang harus ditutup-akibat konsumsi yang terus menanjak dan produksi yang kian menurun-akan berkurang.
Ada manfaat lain yang seketika terasa dari pengurangan subsidi bahan bakar minyak. Jika subsidi dikurangi 10 persen saja, mengacu pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2014, akan tersedia Rp 21 triliun. Dana sebesar itu cukup untuk membangun sebagian jalan tol Trans-Sumatera sepanjang 300 kilometer.
Pemerintah bekerja sama dengan sejumlah pemerintah daerah juga harus segera mengaktifkan instrumen pengendali konsumsi BBM bersubsidi. Ada instrumen jalan berbayar (electronic road pricing/ERP); pengurangan jumlah kendaraan yang bisa beroperasi, misalnya dengan mekanisme nomor kendaraan (ganjil-genap) atau warna (gelap-terang); dan instrumen untuk mengurangi penyimpangan BBM bersubsidi, terutama solar.
Berbagai instrumen itu sesungguhnya bisa diterapkan secara bersama-sama agar efektif. Pengurangan subsidi BBM sudah menjadi keniscayaan. Produksi dan konsumsi BBM semakin tidak seimbang, sementara harga minyak terus melambung. Mau tidak mau, konsumsi BBM harus dikurangi jika kita ingin APBN makin sehat.
Ada manfaat lain yang bisa diperoleh, yakni berkurangnya kemacetan, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta atau Surabaya. Dengan manfaat ganda itu, sungguh aneh jika pemerintah tidak mau menyegerakan penerapannya. Kecuali, pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono memang ingin mengalihkan masalah ini kepada presiden yang baru nanti.
Tentu saja, semua instrumen itu harus dipikirkan secara masak sebelum dioperasikan agar tak sia-sia. Jangan sampai kasus RFID terulang.