Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) setengah hati menghukum para pelaku kartel bawang putih. Kendati dinyatakan terbukti memonopoli pemasaran bawang putih, 19 perusahaan dihukum ringan. Mereka hanya didenda Rp 11 juta hingga Rp 921 juta tanpa hukuman tambahan.
Majelis KPPU menyatakan semua perusahaan itu melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat. Mereka terbukti bersalah melanggar larangan monopoli (pasal 19) dan bersekongkol menghambat pesaing (pasal 24).
Komisi semestinya mendenda lebih besar karena pelanggaran itu tergolong berat. Sesuai dengan undang-undang tersebut, pelanggar larangan monopoli dihukum serendah-rendahnya Rp 25 miliar. KPPU juga tidak memberikan hukuman tambahan, misalnya, pencabutan izin usaha atau memasukkan pengurus direksi perusahaan ke daftar hitam.
Hukuman ringan itu tidak sebanding dengan besarnya kerugian masyarakat. Akibat ulah para pengejar rente itu, harga bawang putih naik tak terkendali pada tahun lalu. Dari harga rata-rata normal Rp 16 ribu per kilogram, harga bawang putih melonjak hingga Rp 50 ribu. Dengan konsumsi nasional per bulan sekitar 30 ribu ton, ulah melawan hukum ini merugikan rakyat mulai puluhan hingga ratusan miliar rupiah.
Hanya, putusan KPPU membuktikan adanya pelanggaran hukum. Ini menjadi pukulan telak bagi Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan yang memberikan konsesi kepada mereka. Tak semestinya pemerintah membiarkan praktek yang menyusahkan masyarakat dari tahun ke tahun itu. Apalagi monopoli bukan cuma terjadi pada bawang putih, melainkan juga terjadi pada barang kebutuhan lain masyarakat, seperti daging sapi, gula kristal putih, gula rafinasi, kacang kedelai, dan beras.
Adanya kuota dalam impor membuka peluang bagi pengusaha bermodal besar untuk menguasai distribusi komoditas, dan pada akhirnya mempermainkan pasokan dan harga. Karena itu, lelang terbuka dalam pengadaan impor penting untuk menciptakan transparansi. Juga perlu ada pengawasan terhadap distribusi komoditas impor tersebut. Pemerintah harus tahu betul kapan barang masuk, di mana disimpan, ke mana barang tersebut didistribusikan, dan berapa banyak.
Kondisi ideal itu sulit diciptakan karena hingga sekarang pun pejabat yang terlibat dalam permainan kuota impor ini belum disentuh oleh penegak hukum. Mereka seharusnya bisa dijerat dengan delik penyalahgunaan wewenang atau suap. Tentu hal ini bukan wewenang KPPU, melainkan wewenang lembaga hukum yang lain, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi.
Kurang tegasnya sikap pemerintah dalam memerangi kartel membuat orang pesimistis bahwa monopoli perdagangan akan segera punah. Apalagi KPPU hanya mendenda ringan para pemainnya seperti yang terjadi dalam kasus bawang putih. Karena si pelaku kartel tidak dimasukkan ke daftar hitam, mereka pun akan dengan mudah merapat lagi ke para pejabat dan mengulang permainan kotor serupa.