Seharusnya ada penjelasan masuk akal mengapa pengungsi Syiah diabaikan. Pejabat, politikus, dan juru kampanye yang belakangan ini sibuk blusukan justru menghindari para pengungsi Syiah asal Sampang di Sidoarjo, Jawa Timur.
Tentu saja, kami tak berharap para pejabat dan politikus itu berpikiran negatif: kunjungan atau simpati kepada kelompok ini akan kontraproduktif terhadap kampanye yang tengah mereka lancarkan. Sentimen anti-Syiah memang meningkat akhir-akhir ini. Namun para pejabat dan politikus itu semestinya mafhum bahwa para pengungsi itu justru orang-orang yang hak asasinya terampas: mereka terpaksa angkat kaki dari kampung halaman sendiri gara-gara keyakinannya. Dan selayaknya simpati dilayangkan kepada mereka.
Juni tahun lalu, dalam sebuah konflik antar-sekte yang berlarut-larut, mereka diusir dari kampungnya di Sampang, Madura. Rumah-rumah mereka dibakar, lalu terpaksa mengungsi hingga akhirnya mendiami rumah susun Jemondo Puspa Agro, di Sidoarjo itu. Mungkin tak ada yang membayangkan bahwa ini semua merupakan awal dari proses marginalisasi, yang kemudian kian nyata mereka hadapi.
Semua seolah ikut ambil bagian dalam proses peminggiran itu: sebagian masyarakat yang tingkat toleransinya makin tipis terhadap sekte minoritas ini, pemerintah yang dengan alasan keamanan terpaksa mengulur-ulur janji memulangkan mereka ke kampung halamannya, dan para politikus yang tengah sibuk menjajakan janji-janjinya.
Geliat pemilihan umum tak pernah mampir di kompleks rumah susun pengungsi Syiah. Bukan cuma ingar-bingar kampanye dan pajangan poster-poster calon legislator yang absen dari lokasi para pengungsi itu, utusan Komisi Pemilihan Umum setempat pun belum pernah muncul untuk mensosialisasi pemilu. Bahkan mereka tak mendata ulang para penghuni rumah susun yang memiliki hak pilih.
Dalam memperlakukan kaum minoritas, sebagai negara demokrasi, Indonesia sedang bergerak ke arah yang tidak terduga. Reformasi memang telah membawa napas lega ketika kebiasaan lama yang suka menimpakan segala kesalahan kepada kaum minoritas Tionghoa tak lagi mendapat tempat di negeri ini. Persekusi terhadap kelompok etnis yang satu ini benar-benar terasa berakhir tatkala Ahok kemudian berhasil terpilih sebagai Wakil Gubernur Jakarta pada 2013.
Ternyata banyak orang tertipu. Berakhirnya persekusi yang satu ini kemudian digantikan persekusi selanjutnya: terhadap penganut sekte minoritas di Nusantara. Syiah dan Ahmadiyah, juga sebuah sekte Protestan, masing-masing mendapat perlakuan tak semestinya beberapa tahun belakangan ini.
Seratus lebih warga Syiah asal Sampang terancam tak dapat menggunakan hak pilihnya. Apakah Syiah akan menjadi kambing hitam manakala kericuhan datang melanda? Yang terang, sudah saatnya berhati-hati, ketika ada kelompok yang selalu bisa dipojokkan, kita kehilangan kesempatan untuk becermin dan mengambil pelajaran dari kesalahan.