TEMPO.CO, Jakarta - Agus M. Irkham, Pegiat Literasi
Frankfurt Book Fair (FBF) selesai digelar pada pertengahan Oktober lalu. Pameran buku terbesar dan tertua di dunia ini menjadi etalase bagi perkembangan intelektual suatu negara yang terlihat dari buku-buku yang dipamerkan. Indonesia hadir dengan membawa tak kurang dari 2.000 buku dalam genre sastra, pemikiran, budaya, kuliner (masakan), maupun buku anak.
Pameran yang diselenggarakan di Frankfurt, Jerman, ini menjadi sarana mengkampanyekan citra negara-negara yang ikut serta, khususnya negara yang terpilih menjadi Guest of Honour (GoH) atau tamu kehormatan. Tahun ini, Finlandia yang menjadi tamu kehormatan dalam pameran yang diikuti oleh lebih dari 100 negara itu. Dalam FBF 2015 nanti, giliran Indonesia yang akan menjadi GoH.
FBF 2015 diharapkan dapat menjadi penanda bagi kebangkitan intelektualitas Indonesia yang terejawantahkan dalam buku tentang pengelolaan kebudayaan, khususnya mengenai diplomasi budaya. Termasuk perkembangan industri perbukuan di Indonesia. Bukan tanpa sebab Indonesia terpilih sebagai GoH. Kita punya 17.504 pulau, 1.128 suku, dan 750 bahasa ibu. Kita ini negara adidaya budaya.
Dipandang sebagai sumber ide kajian dan penulisan, Indonesia adalah tambang karya tak terkira. Ibarat sebuah himpunan teks, Indonesia sangat mengundang untuk segera didaras. Sungguh sebuah hadiah bagi dunia, negara dengan ribuan suku dan ratusan bahasa ibu mampu hidup dalam kerja sama dan harmoni. Di titik ini, kebinekaan Indonesia menjadi modal kultural dan alamiah yang dapat menginspirasi berlangsungnya perdamaian dunia.
Meskipun begitu, desentralisasi keuangan dan kekuasaan birokrasi yang diundangkan sejak 15 tahun lalu ternyata belum cukup untuk mendorong berlakunya kebinekaan Indonesia dalam konteks penerbit, distribusi, dan penulis buku. Hal ini terlihat dari jumlah penerbit, toko buku, dan penulis yang masih terkonsentrasi di Pulau Jawa.
Dalam lalu lintas wacana dan ilmu pengetahuan, masyarakat Papua khususnya, dan Indonesia bagian timur pada umumnya, masih tetap mengalami ketidakadilan budaya, yakni berupa sulitnya mendapatkan pengetahuan melalui buku, sekaligus kecilnya kontribusi mereka dalam pengelolaan kebudayaan dan pengembangan ilmu pengetahuan yang kemudian dipadatkan dalam bentuk buku. Maka perlu sebuah terobosan untuk mengurai itu.
Di jalur distribusi, misalnya, perlu dibuat saluran baru yang lebih efisien dan menjangkau sasaran lebih luas dan jauh dengan melibatkan komunitas literasi dan taman bacaan.
Sedangkan di ranah produksi bisa dengan dibuka seluas-luasnya kesempatan kepada para generasi muda di luar Jawa, untuk turut menjadi subyek dalam lalu lintas wacana dan pengetahuan, yaitu dengan menulis buku dan menerbitkannya sendiri.
Menulis lantas menerbitkan buku bukanlah persoalan mudah. Juga bukan lagi sebuah aktivitas personal, melainkan sudah komunal bahkan industrial. Untuk itu, di sinilah diperlukan campur tangan negara/pemerintah, melalui kebijakan yang dapat memfasilitasi dan mengadvokasi tumbuhnya para penulis dan penerbit di daerah, sehingga tidak selalu menjadikan Jawa sebagai acuan perkembangan.
Kalau ini bisa terwujud, FBF 2015 benar-benar akan menjadi representasi intelektualitas Indonesia. Kebangkitan literasi sebagai ujung tombak kebangkitan bangsa Indonesia akan semakin mendapati dasarnya.?