Yang suci tampaknya belum surut. Juga ketika mukjizat menghilang dan Tuhan hanya disebut dari ruang yang hingar. Dunia memang mengalami Entzauberungsepatah kata dari Weber yang terkenal itu, yang menggambarkan hilangnya tuah dari kehidupan. Modernitas hadir. Tapi tidakkah modernitas yang sekuler itu juga punya batas?
Prancis: di negeri ini, di mana Islam agama terbesar No. 2, anak-anak muslimah datang ke sekolah dengan berjilbab. Mereka tampaknya merawat apa yang sakral. Mungkin petuah orang tua tentang tradisi dan harga diri. Mungkin ajaran agama. Mungkin juga tubuh mereka, hingga perlu diberi tabir dari debu duniawi dan dari jamahan yang profan. Mungkin sekali ketiga-tiganya.
Tapi apa yang terjadi jika sesuatu yang dianggap suci bentrok dengan sesuatu yang dianggap suci? Di Paris, Régis Debray, dalam wawancara dengan majalah Lire nomor Februari ini, mengingatkan, "Kita jangan mencampuradukkan yang suci dengan yang religius, dan yang religius dengan yang ilahiah." Sebab banyak "agama tanpa dewa-dewa dan tanpa Tuhan."
Dari Debray, suara ini menarik untuk didengar. Dalam umur 64 tahun, ia bertahun-tahun mewakili suara yang kiri, bahkan radikal. Ia pernah ikut bergerilya di Amerika Latin membantu "Che" Guevara; ia dipenjarakan di Bolivia dari tahun 1967 sampai 1970. Buku pertamanya, Révolution dans la Révolution (1967), menampakkan rasa kagumnya kepada gerakan revolusioner. Tapi yang dilakukan pada umur 27 tak dengan sendirinya berulang kemudian. Saya terkejut ketika membaca Lire: kini Debray merayakan "nilai-nilai Amerika", termasuk soal menghormat bendera di waktu pagi. "Saya iri akan orang-orang Amerika dalam hal kesadaran warga negara (civisme) dan patriotisme mereka, bahkan bila kedua hal itu dipakai untuk tujuan-tujuan buruk."
Debray, kini patriot di abad ke-21, hendak menunjukkan bahwa tak ada masyarakat yang tak punya wilayah yang disucikan dan tanpa transendensi. Uni Soviet dulu punya Lenin. Amerika Serikat punya Washington dan para "bapa pendiri". Dan apa kiranya sukma Republik Prancis? Jawab Debray, "Kita juga punya satu wilayah seperti itu," dengan "pahlawan-pahlawan besar" seperti Danton, seperti Leclerc.
Debray menyebut Leclerc, prajurit legendaris Prancis dalam Perang Dunia II yang dua kali dipenjarakan Jerman dan dua kali melarikan diri. Perwira aristokrat ini kemudian bertempur di padang pasir Afrika. Pasukannya dipuji Churchill karena keberaniannya dalam peperangan di Tunisia. Leclerc juga yang ikut merebut kembali Paris dan menerima pernyataan menyerah tentara Jerman dari Jenderal Von Cholitz, 25 Agustus 1944.
Debray menyebut Danton. Tokoh Revolusi Prancis ini pun orang yang berani, juga ketika ia harus menghadapi kaum revolusioner yang lebih ekstrem yang kemudian memenggal kepalanya, 5 April 1794.
Yang pertama, Leclerc, mengisyaratkan pentingnya la patrie, tanah air. Yang kedua mengisyaratkan pentingnya la läicité, semangat sekuler. Dalam lakon Georg Buchner, Dantons Tod ("Matinya Danton"), kita dengar tokoh ini berkata bangga: ia mengingkari adanya kebajikan; ia juga mengingkari adanya dosa. Baginya, "Yang ada hanya para epikurian, yang halus dan yang kasar."
La patrie dan la läicité di Prancis memang bertaut: Revolusi Prancis yang memusuhi Gereja itu juga salah satu tonggak awal lahirnya "negara nasional". Tapi tampaknya, seperti di pelbagai negara modern, kini ada yang terasa kurang. Jika kebajikan dan dosa tak diakui, dan yang penting adalah kaum "epikurian" yang memprioritaskan hari ini, bukankah masih diperlukan jawab: apa yang bisa membahagiakan manusia secara bersama-sama di sebuah dunia yang tak peduli akan akhirat? Apa kebahagiaan bagi aku dan Tuan? Apa yang bukan?
Jawab untuk itu, konon, akan bisa ditemukan jika ada nilai-nilai yang jadi fondasi sebuah kebersamaan. Tapi setelah Revolusi Prancis, setelah modernitas dan Entzauberung, politik berlangsung dalam kondisi "pasca-fondasional". Tak ada konsepsi metafisik tentang apa yang "bajik" dan apa yang "buruk". Yang ada hanya undang-undang, dan kita tahu: undang-undang lahir dari perundingan yang tak selamanya bersih.
Tapi apa daya? De-kristen-isasi telah terjadi, kata Debray, tapi malangnya tak disertai pulihnya kembali makna. Keseimbangan antara hak dan kewajiban tak ditegakkan lagidan di sini saya kira Debray ingin berbicara tentang hilangnya "otoritas". Seperti yang pernah dibicarakan Hannah Arendt, itu berarti hilangnya wibawa yang mampu mempengaruhi perilaku dalam polis atau "madinah" kita, tanpa memaksa, tanpa kekerasan.
Maka Debray pun bicara tentang "yang suci", le sacré, suatu transendensi yang menjaga agar sebuah bangunan sosial tak runtuh. Tapi dengan caranya sendiri. Ia berbicara tentang "suatu liang di dasar", "suatu ketidakhadiran fundamental". Dengan agak dramatik ia katakan, "Orang berbaris ke Taman Firdaus atau orang datang dari surga yang hilang." Dan dari surga yang hilang itu, dari la läicité itu, memang ada rasa cemas. Tapi itu juga "tenaga pendorong kita".
Dari sinilah "yang suci" diimbau. Ia terasa hadir dalam kesetiaan manusia kepada sesuatu (bagi Debray: tanah air), yang bisa menyebabkan ia berani mati, juga ketika Tuhan tak diakui. Dari sini kita tahu kenapa Debray menyebut sekolah sebagai sebuah sanctuaire, wilayah damai tempat orang berlindung. Sekolah bukan sebuah tempat umum. Seperti tiap komunitas, seperti halnya gereja atau kuil, sekolah juga memerlukan "ambang" (les seuils). Bila ke masjid orang menanggalkan sepatu, "kenapa tak begitu halnya dengan jilbab ketika memasuki sekolah?"
Pertanyaan yang bagus. Tapi ada yang belum dijawab Debray: benarkah anak-anak muslimah itu datang ke sekolah untuk berlindung? Ataukah untuk mendapatkan sesuatu yang kelak membuat mereka tak perlu proteksi, dengan atau tanpa yang "suci"? Dan bila pun mereka datang berlindung, tak mungkinkah itu karena mereka takut cedera oleh ketidakbebasan dan intoleransi, yang jangan-jangan datang dari mereka yang mempersucikan la patrie?
Goenawan Mohamad